Perjalanan Ke Tepal - Sumbawa

Baca Juga

TEPAL, SECANGKIR KOPI DAN KEHANGATAN SENYUM PARA PENEMPUH JALAN KESEJATIAN


Di sela-sela wawancara liputan, seorang wartawan dari media nasional pernah berseloroh pada Kades Tepal, “Kok ada orang yang mau tinggal di tempat seperti ini ya Pak?”, pak Kades hanya tersenyum. “Itu pertanyaan yang paling tidak masuk akal, mas… memang siapa yang bisa memilih akan dilahirkan dimana?” kata pak kades kepada saya dengan muka sedikit kecut. Mungkin maksud sang wartawan hanya bercanda, namun bagi warga di sana sungguh menusuk.

Dari sudut pandang “orang kota” yang terbiasa dengan kemudahan barangkali akan sangat sulit membayangkan, apalagi melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi di Tepal. Jarak tempuh desa yang dikenal sebagai penghasil Kopi terbaik di Sumbawa itu tak lebih 40 atau 50 km dari ibu kota kabupaten Sumbawa.
Tetapi untuk sampai ke Tepal dibutuhkan waktu 4 sampai 5 Jam menggunakan motor trail untuk jarak yang dalam ukuran normal bisa ditempuh hanya 1 jam dengan kendaraan bermotor itu. Medannya memang cukup sulit dan memacu adrenalin. Melewati perengan pegunungan Batu Lanteh yang dikelilingi hutan lebat dan jurang menganga. Dirimbun pepohonan, banyak ayam hutan dan burung-burung liar saya jumpai ketika menyusuri belantara itu. Beberapa gerombol babi hutan dan biawak berlarian mendengar raungan motor saya. Dibeberapa trek, saya sempat beberapa kali kehilangan keseimbangan dan terpelanting ketika merayapi gundukan tanah bekas mobil hardtop atau menyusuri jalanan setapak berbatu dengan kemiringan hampir 70 derajat!

Saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana jalan seperti ini bisa dilalui kendaraan, terutama dimusim penghujan? Tetapi penduduk disini rupanya memang sudah terbiasa, meskipun ada juga satu dua yang patah kaki atau tangan. Satu-satunya angkutan umum yang bias sampai ke Tepal hanyalah mobil hardtop milik beberapa “juragan” kopi yang di disain seperti mobil offroad. “Kalau turun ke Sumbawa pas musim hujan kadang kita bisa satu minggu perjalanan pulang pergi mas,” kata salah seorang warga.
“Maksudnya?” Tanya saya
“Menginap di Jalan. Apalagi kalau mobilnya terperosok dilumpur, kita juga ikut mendorong atau menyusun batu-batu untuk mengeluarkannya,” jelasnya.

“Beginilah kondisinya, mas… kami selalu menjual lebih murah dan membeli dengan harga lebih mahal,” kata Kepala Desa mengeluhkan keadaan, terutama soal moda transportasi yang terhambat oleh pembangunan sarana fisik jalan.


Secara umum, desa Tepal memang boleh dikatakan cukup makmur. Hasil alam, terutama kopi dan beras merah cukup melimpah. Dari penjualan hasil bumi itu, mereka bisa membeli kebutuhan pokok atau memasang panel listrik tenaga surya untuk kebutuhan energinya. Tetapi setahun ini 380-an KK sudah bisa menikmati pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang digerakkan kincir.

Anak-anak muda Tepal juga banyak yang sudah menempuh pendidikan tinggi di Mataram atau di Jawa. Beberapa orang, seperti kawan saya tempat menginap, memilih pulang kampong dan mengabdikan diri sebagai guru di desa. Sementara itu soal kesehatan memang masih menjadi kendala. Meskipun ada polindes namun hanya sesekali dikunjungi bidan atau dokter desa. Karena itu mungkin masyarakat lebih memilih berobat ke Sandro (dukun) daripada harus ke kota yang jauh.

“Panen kopi sekarang ini cukup bagus. Produksinya bisa lebih dari seribu ton tapi kami kesulitan menjualnya. Kami hanya berharap agar pemerintah daerah segera membangun jalan yang lebih baik, sehingga kami bisa menjual hasil bumi kami dan membeli kebutuhan di kota dengan harga yang lebih wajar,” sambungnya.


***

Begitulah lika-liku jalan untuk sampai ke desa Tepal di kecamatan Batu Lante Kabupaten Sumbawa. Ada dua alasan yang membuat saya sangat ingin mengunjungi desa ini. Pertama, seperti yang sudah saya sebut di atas, bahwa sebagai pecinta kopi, rasanya kurang mantaff jika belum mendatangi desa yang sangat terkenal dengan keharuman kopinya ini. Alasan kedua, konon didesa inilah lahir seorang ulama kenamaan yang pernah memimpin tarekat besar Qodiriah yakni Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi as-Sumbawi atau lebih dikenal sebagai Syeikh Zainudin Tepal, pengarang beberapa kitab kenamaan yang salah satunya, Sirajul Huda, sebuah kitab tentang tauhid dan aqidah ahlussunah yang menjadi bahan ajar tingkat lanjut dibeberapa pesantren (termasuk di beberapa pesantren kampung saya di Kaliwungu-Kendal).

Menikmati kopi panas sambil menghisap kretek di depan perapian di desa Tepal yang sangat dingin itu, entah mengapa pikiran saya jadi mengawang kemana-mana. Sayapun jadi teringat kitab klasik pesantren berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan karangan Syaikh Ihsan Jampes yang diterjemahkan oleh sahabat saya Sutrimo edy Noor dari Jepara (Ali Murtadho?) sebagai KITAB KOPI DAN ROKOK. Kitab itu sendiri merupakan adaptasi puitis atau syarah atas kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dhuhan karya KH Ahmad Dahlan Semarang, yang kemudian disusun menjadi bait-bait syair bermatra rajaz oleh Syaikh Ihsan Jampes. Konon, hingga kini, kitab Irsyad al-Ikhwan yang biasa dibaca para santri sambil sembunyi-sembunyi ini merupakan satu-satunya buku yang memuat seluk-beluk kopi dan rokok, mulai dari sejarah sampai hukum mengonsumsinya.

Saya tak hendak membahas isi atau kontroversi kitab tersebut. Saya pun tak begitu ingat lantunan syair-syair di dalamnya, kecuali sepenggal ingatan tentang Syeikh Ihsan menautkan antara satu pendapat dengan pendapat ulama yang lain soal kopi dan rokok, tentang bahaya dan kebaikan mengkonsumsinya. Ingatan saya justru lebih meruncing ke nasib para petani, atau mereka-mereka yang bersusah payah menanam dan menyiapkan produksi tanaman seperti kopi tetapi nasibnya selalu diujung tanduk. bukankah memang sedari dulu demikian?

Kopi, Cengkeh, Tembakau dan rempah-rempah lainnya adalah komoditas primadona diera penjajahan hingga hari ini. di masa lalu, komoditas inilah yang mengundang bangsa-bangsa dari eropa menempuh perjalanan selama berbullan-bulan atau bertahun-tahun mengarungi samodra untuk sampai ke negeri kita. melakukan perdagangan, lalu memonopoli, dan ujung-ujungnya penjajahan. tapi apa bedanya dengan sekarang? kopi ditangan petani berharga 20 atau 30 ribu perkilo, sementara ditangan para kapitalis, hanya dengan sedikit polesan berbentuk sachet berisi beberapa gram, harganya bisa berlipat-lipat. begitu juga dengan tembakau atau cengkeh. Kini setelah Philip Morris menguasai 97% Saham Sampoerna, tentu tak ada lagi alasan perusahaan-perusahaan lain semisal Gudang Garam atau Djarum untuk tidak melepas sahamnya ke pasar modal mengingat persaingan dagang yang semakin tajam? dan apa pula keuntungannya bagi petani jika ditingkat perdagangan komoditi dasar, nyatanya kartel jauh lebih berkuasa dari pasar? sementara petani harus ngutang sana-sini untuk bibit, pupuk, tenaga kerja dll, harga panen bisa mereka permainkan seenak perut sendiri. Yach,..hanya sebuah ingatan yang sekilas melintas. Selebihnya hanya dingin yang menggigilkan tulang-belulang.

Pikiran sayapun mengembara ke arah lain, ke tempat saya duduk menghirup kopi panas dan sebatang kretek; bagaimana mungkin dari sebuah desa terpencil ini bisa melahirkan seorang ulama besar seperti syeikh Zainudin Tepal pada awal abad ke 19M? Saya bayangkan saat itu, perlu waktu berminggu-minggu untuk sekedar turun ke Sumbawa, apalagi ke Makkah. Sungguh butuh pengorbanan yang luar biasa. Bil khusus pada masa itu masih era kolonial dan pulau Sumbawa sedang mengalami masa-masa sulit akibat letusan Tambora.

Jika kita runut sejarahnya, Syeikh Muhammad Zainuddin Tepal adalah murid utama Syeikh Nawawi al-Bantani yang menjadi imam masjidil haram pada kisaran tahun1815 – 1860M. Itu berarti Syeikh Zainudin Tepal meninggalkan kampong halaman untuk belajar agama di Makkah ketika gunung Tambora sedang mengamuk dasyat. Sayangnya tidak banyak riwayat atau sejarah yang bias dibaca tentang kehidupan Syeikh Zainudin Tepal ini, terutama yang bisa diketahui oleh warga Tepal atau Sumbawa pada umumnya. Bahkan tidak ada sedikitpun jejak yang bisa saya jumpai tentang kehidupan sang syeikh dimasa lalu ditempat kelahirannya.

Dari perbincangan saya dengan beberapa warga, mereka hanya tahu keberadaan sang syeikh justru dari orang lain. Mereka juga tak menyimpan kitab-kitab peninggalan sang syeikh yang makamnya berada di Makkah itu. Saya pun mengalihkan pembicaraan seputar meletusnya Gunung Tambora. Lagi-lagi, hanya sedikit ingatan yang mampu mereka kenali. Itupun dari Lawas yang biasa didendangkan dalam acara Sakeco oleh para tetua. Di situ disebutkan, ketika terjadi letusan gunung besar itu, seluruh mata air di Sumbawa berhenti mengalir. Hanya ada 2 mata air yang masih mengalir, dua-duanya berada di sekitar desa Tepal. Mungkin karena itu sempat terjadi eksodus besar-besaran. Beberapa warga dari daerah bawah naik ke atas gunung dan selamat dari amukan Tambora, terutama akibat wabah pasca meletusnya Gunung berapi terdasyat diera modern itu.


***

Secara geografis, desa Tepal yang berada di ketinggian 870-an Dpl memang berada di perbukitan yang dikelilingi pegunungan Batu Lanteh. Beberapa peneliti (terutama dari aspek kebahasaan) memang menyebutkan bahwa yang disebut penduduk asli Sumbawa adalah penduduk yang mendiami pegunungan Batu Lanteh. Merekalah yang selamat dari amukan Tambora pada tahun 1815 itu. Sementara penduduk yang berdiam dipesisir, umumnya  adalah para pendatang dari Bugis-Makassar, Mandar, Bajo, Melayu atau Jawa pada kurun waktu 50 tahun setelah meletusnya Tambora. Apakah memang benar demikian wallahhu a’lam bishowab dech…

Di Tepal, sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan ini, sesekali warga juga berdiskusi soal-soal aktual. tentang akal bulus para politisi, ketimpangan pembangunan, juga rencana sebuah perusahaan pertambangan yang akan melakukan eksploitasi besar-besaran diwilayah hutan dekat tempat tinggal mereka. Ada secercah harapan, juga sengkarut ke khawatiran, terutama kerusakan alam yang bisa diakibatkan oleh aktivitas pertambangan itu kelak. sementara saya, lebih menikmati kehangatan kopi dan senyum yang mereka hidangkan. Kamipun lebur dalam perbincangan-perbincangan yang lebih mendalam, tentang hakekat hidup, sejarah, dan makna kesejatian...


Sumbawa, Medio Juli 2011
Share:

5 komentar:

  1. sumber tulisan paox di mana ya? copas ya.

    BalasHapus
  2. secara letak geografisnxa tepal adalah desa yang terletak di atas pengunungan yang begitu luar biasa hijau dan subur

    BalasHapus
  3. siapa wartawan itu, kapan ke sana sumbernya ???----- gak jelas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nama dan Link ada di awal posting bro.
      di baca baik-baik ya.

      Hapus
    2. meragukan wartawan,,,??
      kalau mau nulis,nulis aja yang berkualitas bro....

      Hapus