Baca Juga
Tim Katastropik Purba baru saja menyelesaikan studi
awal tentang jejak-jejak sendimentasi di Sumbawa, beberapa waktu lalu.
Ada sejumlah keanehan sejarah dan ekstraksi bumi di wilayah ini. Kuat
dugaan adanya tambang purba di tanah Sumbawa.
Selama ini, Indonesia kehilangan kontinuitas dalam pengetahuan
tentang perjalanan sejarah. Selain Bencana dan pendudukan kolonial,
Bangsa kita yang resmi menjadi negara berdaulat, Indonesia kehilangan
cerita dan fakta bencana berikut sejarah masa lalu.
Dari informasi yang didapatkan, di Sumbawa, Tim Katastropik Purba
meneliti tentang kejadian tsunami pada masa lalu dengan mencari
jejak-jejak sedimentasi. Sejumlah daerah di wilayah selatan menjadi
lokasi riset ini, diantara Benete, Maluk, Sekongkang, Nenga Memenga,
Swis, Sejurong, Tongo, Senutuk, Labuhan, Brang Tatar, Yangse.
Faktanya sejauh ini, belum ada satupun sumber tulisan yang lengkap
mengulas tentang keanehan-keanehan sejarah dan ekstraksi bumi di daerah
selatan tersebut. Melirik pada nama yang berbau oriental, Ma-Luk, Tse
Kong Kang, Ta(r)tar, Yang Tse, muncul hipotesa awal, nama-nama itu
mengindikasikan daerah pantai selatan Sumbawa itu pernah dijelajah oleh
bangsa Mongol – China. Entahlah, mungkin tentara-tentara Jenghis Khan
atau panglima-panglimanya. Tapi belum pernah ada yang meneliti mendalam
tentang tersebut sejauh ini.
Di samping itu, ada cerita terpendam sampai sekarang tentang
bagaimana para eksplorasionis awal geologis Newmont menemukan
bekas-bekas penambangan kuno di puncak Batu hijau. Sekarang puncak batu
hijau itu sudah hilang karena ditambang dan menjadi lembah kerucut
terbalik dengan kedalaman sampai 700 meter dari permukaan awal. Tak
ubahnya, seperti di Grassberg Freeport di Timika.
Ceritanya, pada awal 90-an saat melakukan pemetaan, para geologis ini
mendapati sebuah lapisan tipis berupa ‘arang’ yang ditutupi oleh
endapan volkanik (tuff?) dan soil. Di zona lapisan memanjang tersebut,
didapati banyak sekali keramik (pottery) dan juga Slag - sisa-sisa
pembakaran bijih untuk pemurnian tembaga.
Para geologis curiga, fenomena itu adalah bekas penambangan kuno.
Karena kecurigaan itu, mereka pun memanggil tim arkeologi dari Jakarta
(Tim pemerintah). Kemudian, Tim tersebut melakukan ekskavasi dengan
memakai bentangan benang-benang saling menyilang seperti umumnya standar
penggalian arkeologi. Kabar yang beredar saat ini, laporan tertulis Tim Arkeologi itu ada
di Newmont, tapi mereka tidak tahu disimpan dimana sekarang, karena
sejak dulu proyek tersebut memang dirahasiakan.
Laporan tersebut menyimpulkan, benda-benda yang ditemukan di puncak
gunung Batu Hijau tersebut tidak mempunyai nilai sejarah. Atas
rekomendasi itu, Newmont-pun meneruskan usaha awal eksplorasinya
dengan feasibility study – standar resmi penambangan umumnya – sampai
mereka menambang bukit Batu Hijau itu menjadi kaldera seperti saat ini.
Dengan kondisi saat ini, hampir dipastikan lapisan pembawa
bukti-bukti “man-made” yang diteliti Tim Arkeologi tersebut sudah hilang
tertambang. Sebagian dari “artefak-artefak” yang dikumpulkan banyak
dijadikan souvenir oleh tim eksplorasi Newmont, termasuk dibawa ke
Denver, Amerika Serikat, ke kantor pusatnya.
Untuk menjawab teka-teki ini, Tim Katastropik Purba
berharap geologis Indonesia yang sudah keluar dari Newmont masih
menyimpan hasil riset tersebut, karena menurut analisis Tim Katastropik
purba, sangat aneh kalau ada lapisan “arang” dengan banyak artefak yang
ditutupi endapan gunung api lalu dianggap tidak punya nilai sejarah.
Jika benar lapisan penguburnya adalah endapan tuffa gunung api,
kemungkinan itu adalah endapan piroklastik letusan Tambora pada tahun
1815. Dengan demikian, kegiatan penambangan tembaga di daerah tersebut
sudah terjadi sebelum 1815.
Apakah Tentara Jenghis Khan yang melakukannya, ataukah ada peradaban
lain? Sangat disayangkan sampai ada kesimpulan bahwa lapisan tersebut
tidak punya nilai sejarah. Karena dengan dasar itulah maka sah-sah saja
lapisan-lapisan itu dibongkar dalam rangka mengakses cadangan raksasa
tembaga, emas, dan perak di bawahnya.
Disamping dua hal tersebut, Tim Katastropik Purba, juga menemukan
suatu bentukan morfologi yang menarik di daerah pantai. Morfologi itu
berbentuk sebuah gunung yang radial tapi bagian sirkular tengahnya
menunjukkan pola menurun ke tengah, seperti kaldera dangkal, seolah-olah
seperti bentuk galian tambang porfiri yang sudah ditutup.
Peta geologi menunjukkan data yang tidak konsisten. Kemungkinan
memang belum pernah didaki untuk diteliti. Seperti gunung api purba.
Bahkan eksplorasionis Newmont-pun tertarik dengan fenomena tersebut,
karena kalau memang ada mineralisasinya, berarti di dalam “gunung”
tersebut kemungkinan juga akan didapatkan cadangan serupa seperti Batu
Hijau.
Atau mungkin sudah habis ditambang oleh peradapan terdahulu. Jenghis
Khan? Orang-orang Purba?. Kabarnya, dalam tahun ini Pihak Newmont akan
mulai meneliti morfologi tersebut karena masih masuk dalam daerah
konsesi.
Satu hal yang dapat disimpulkan, bekas-bekas penambangan
kuno tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan dan teknologi mineral dan
metalurgi pada peradaban purba ternyata sudah sangat maju.
Entah itu jaman Raden Wijaya, Jenghis Khan, atau mungkin jaman jauh
sebelum itu
kita harus lebih mendalami akan asal muasal nya karena sesungguhnya hal2 spt tentu ada mengandung nilai sejarah nya...kalau kemudian kita teliti lebih jauh oleh para pakarnya saya yakin pasti akan ada jawaban nya. menurut saya hal ini harus dilakukan karena sangat penting
BalasHapus