Labuhan Mapin, Desa Wisata Bahari

Baca Juga

PARIWISTA DAN BOM IKAN

Beberapa bulan yang lalu saya diminta Ir. Badrul Munir, MM--WAGUB NTB, utk menjadi salah satu anggota Tim pengkaji desa wisata di Labuhan Mapin Sumbawa. Dalam sebuah pertemuan evaluasi, Wagub bercerita bahwa sejak beliau kecil desa Labuhan Mapin telah dikenal sebagai tempat wisata yang cukup populer di Sumbawa, terutama ketika liburan hari besar seperti Idul fitri. Masyarakat dari kampong-kampung di sekitar Labuhan Mapin berbondong-bondong mendatangi pelabuhan untuk melihat berbagai atraksi budaya yang disuguhkan disana. Beliau bahkan bercerita rela berjalan kaki berkilo-kilo bersama teman-teman sepermainannya untuk melihat ayunan besar yang cukup unik dan hanya ada di Labuhan Mapin.
Berkaitan dengan kajian tersebut, meskipun terkesan sentimental, tetapi pesan Wagub cukup jelas ; kami diminta menilai secara obyektif apakah desa Labuhan Mapin layak atau tidak untuk dikembangkan sebagai desa wisata. Jika layak, apa saja potensi yang dimiliki dan apa saja persiapan yang harus dilakukan.  Tim yang ditunjukpun sangat idependen dan tak satupun warga asli Samawa. Mungkin WAGUB juga ingin melakukan test cash bagaimana tanggapan orang “Luar” seperti saya ini melihat potensi wisata disebuah desa seperti Labuhan Mapin.

Jujur saja, pada awalnya kami cukup pesimis bahwa desa ini memiliki potensi yang cukup untuk dikembangkan sebagai desa wisata bahari. Desa Labuhan Mapin, terutama di bagian pesisirnya tak beda dengan desa-desa nelayan lainnya; terlihat kumuh dan kotor.  Tidak ada sesuatu yang menonjol, kecuali dermaga kayu seperti jembatan panjang yang menjorok ke tengah laut. Itupun telihat sedikit compang-camping dan tidak ada perahu yang ditambatkan di dermaga itu. Para nelayan lebih memilih memarkir perahu mereka di sepanjang pantai di belakang rumah mereka. Pada mulut dermaga itu juga terdapat bangunan TPI yang terlihat kosong.  Ternyata, banyak nelayan dari Labuhan Mapin yang menjual tangkapannya ke luar daerah daripada di TPI yang ada di desa mereka.

Sayapun bersama Tim yang dipimpin oleh DR. Muazar Habibie berpikir cukup keras, apa yang menarik dari desa ini. Saya mencoba mencari “soul” nya, apa ya, yang cukup istimewa dari desa ini sampai-sampai Wagub menugasi kami untuk membuat telaah dan analisa sebagai desa wisata? Saya lalu berkeliling. Pagi siang sore dan malam hari, bertemu dengan beberapa orang nelayan yang sedang memperbaiki perahu, ibu-ibu yang menunggu suami atau anak lelaki mereka pulang melaut, ngopi disebuah warung dipinggir pantai, berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat,,, mengumpulkan berbagai informasi dan menyerap apa saja yang mereka ungkapkan.

***

Jika kita menutup mata dari ‘kekumuhan’ yang terserak disekitar pesisir itu dan focus ke pemandangan disekeliling lautnya, maka kita akan mendapati hal yang sangat menarik. Desa labuhan mapin seperti dikepung oleh pulau-pulau kecil yang menempatkannya seperti danau raksasa. Di sebelah luar dua pulau panjang saling berhadapan, seperti tanggul gelombang dengan deretan hutan bakau yang terlihat samar dikejauhan. Di sebelah timur, gugusan pegunungan Rhee terlihat seperti putri jelita yang tertidur lelap. Di sebelah barat, Gunung Rinjani di Pulau Lombok berdiri menjulang seperti mengangkangi mega-mega di seberang selat Alas. Sementara pulau-pulau kecil dengan bukit-bukit runcing membiaskan cahaya matahari senja sehingga tampias cahaya yang terpendar  tampak lebih ranum dari tatapan yang semestinya.

Saya juga sempat mengelilingi pulau-pulau kecil atau gili di sekitar Labuhan Mapin. Pemandangannya sungguh luar biasa. Terutama di Pulau Kalong yang masih menjadi rebutan antara Pemkab KSB dan Sumbawa. Pulau kosong yang dikelilingi hamparan pasir putih dan hutan mangrove ini memiliki panorama yang sangat memukau. Beberapa bukit menyembul di tengah pulau, seperti gunung-gunung purba yang dibeberapa bagian terdapat serakan batu raksasa. Sayapun membayangkan, jika dibangun resort yang dikelola dengan baik, tentu akan luar biasa.

Di sekeliling pulau juga terdapat beberapa perusahaan penangkaran kerang mutiara. Meskipun kami berlayar pada musim angin barat, perairannya cukup tenang dan jernih. Di beberapa bagian, pemandangan bawah lautnya bisa kita nikmati dari atas perahu. Sangat cocok untuk kegiatan diving atau sekedar snorcling. Sayangnya banyak terumbu karang yang terlihat rusak berserakan. Menurut keterangan para nelayan, itu akibat pengeboman dan racun potassium yang merusak akar terumbu karang.

Selain pemandangan alam yang indah menawan disekelilingnya, Desa Labuhan Mapin juga memiliki beberapa potensi yang layak dipertimbangkan. Letak perairan Labuhan Mapin yang dikelilingi pulau itu menjadi “rumah ikan” yang cukup nyaman. Nelayanpun tidak perlu melaut terlalu jauh hingga ke luar lingkaran pulau-pulau untuk mendapat tangkapan yang cukup. Mereka tinggal memasang perangkap dimulut perairan atau celah dua pulau panjang itu dan segera mendapat tangkapan yang melimpah. Menurut keterangan beberapa orang dari luar Labuhan Mapin, juga peneliti dari IPB, Ikan dari daerah ini tergolong super; ukurannya cukup besar dari ikan-ikan pada umumnya, terasa lebih enak dan dagingnya lebih empuk . Hal itu disebabkan  ikan-ikan di Labuhan Mapin termanjakan oleh alam. Selain makanan yang mereka tak perlu merenangi arus keras.  Kamipun sempat menikmati beberapa jenis ikan dan cumi-cumi yang disuguhkan nelayan.  Dan rasanya? Hmm…

Karena potensi perikanan yang melimpah ini, banyak nelayan dari daerah lain yang “menyerbu” perairan Labuhan Mapin. Terkadang mereka menggunakan cara-cara yang tidak benar seperti memasang bom ikan dan menebar racun potassium. Hal tersebut tentu membahayakan ekosistem, karena itu Nelayan di Labuhan Mapin sempat berang dan melakukan aksi penangkapan sepihak Karena aparat dinilai lamban bertindak. Beberapa perahu penjarah tersebut sempat dibakar, pelakunya diserahkan ke polsek setempat.   Kesadaran para nelayan di Labuhan Mapin ini tentu layak diacungi jempol.

Sayapun bertanya siapa pelakunya? “Mereka orang luar pak, umumnya orang dari Bungin dan Kaung,” kata salah seorang penduduk.  Itu cukup aneh,  pikir saya. Sebab orang-orang Bungin (pulau terpadat di dunia itu) mengaku sebagai keturunan Panglima Mayo, Panglima Angkatan Laut kesultanan Sumbawa pada masa kerajaan yang menerima Pataka Lipan dan Naga APi--dua bendera pusaka warisan masalalu yang selalu menjadi kebanggaan itu. Merekalah (Panglima Mayo dan Anak keturunannya) yang diberi tugas dan wewenang untuk menjaga perairan Sumbawa dari segala gangguan, baik yang kasat maupun tidak.  

Tapi mengapa sekarang justru mereka yang menjadi perusak laut? Alasan ekonomi? Kesejahteraan? Tentu sangat klise. Karena itu saya berharap kesultanan Sumbawa segera merevitalsasi dan menghidupkan kembali perangkat adat, termasuk hukum-hukumnya, untuk menjaga dan melindungi alam (ekosistem), kehidupan social-komunal masyarakat, tradisi dan harkat kebudayaan Samawa. Mumpung Sultannya baru dinobatkan. Dengan cara itu masyarakat akan menjaga ekosistem laut secara swamandiri tanpa harus bergantung pada aparat yang jumlahnya terbatas dan justru sering 'main mata' dengan pengebom/tengkulak ikan.


***
Meskipun cukup heterogen, mayoritas penduduk Labuhan Mapin adalah para pendatang dari Sulawesi, terutama suku Bugis, Bajo dan Selayar. Pola perkampungannyapun terkonsentrasi, masing-masing suku membentuk pedukuhan sesuai dengan Suku asal mereka. Masyarakat Bajo tinggal di Kampung Bajo, yang bugis tinggal di Kampung Bugis dan Selayar tinggal di kampong Sanggrahan. Dalam aktivitas kesehariannya, para warga menggunakan bahasa Ibu masing-masing. Sehingga tidak jarang satu orang bisa menguasai berbagai bahasa daerah. Sayapun sempat bertemu dengan seorang perempuan Sasak yang kawin dengan orang Bajo. Meski ia tidak sekolah, ia bisa berbahasa Bajo, Selayar, Bugis dan Samawa dengan lancar. Begitu pula dengan Suaminya, cukup mahir bahasa Sasak, Samawa, bahkan Mbojo (Hehe, jadi malu.. meski istri saya dari Bima, saya malah tidak bisa bahasa Mbojo, dan meskipun sudah tahunan tinggal Lombok saya tidak lancar bahasa Sasak).

“Dulu Sebelum terjadi pemekaran Desa tahun 2003 penduduk disini cukup lengkap mas. Ada perkampungan Sasak dan Samawa juga. Orang-orang dari Jawa dan Madura juga banyak di sini,” kata Pak Alvin Mantan Kepala desa Labuhan Mapin.
“Kalau diwilayah Sumbawa lain kami menjadi Tamu, disini Tau Samawa (Orang Sumbawa justru menjadi tamu mas…” Kata salah seorang pemuka desa berseloroh.

Konon orang-orang Bajo dan Selayar sudah menetap  di Labuhan Mapin sejak ratusan tahun yang lalu. Sedangkan eksodus orang-orang Bugis, menurut beberapa tokoh yang saya wawancarai, baru terjadi antara tahun 1940-1950an. Mereka eksodus dari Makassar dan Watampone terutama ketika terjadi pembantaian oleh Westerling  Desember 1946-Februari 1947 dan pemberontakan Kahar Muzakar diakhir tahun 50-an. Masuk akal juga, sebab ketika beberapa tahun yang lalu saya melawat ke Watampone (Bone)-Sulawesi Selatan, Masyarakat di sana bercerita bahwa banyak dari mereka yang mendapat perlakuan kejam dari Kahar Muzakar dan para pengikutnya. Banyak kampung yang dibumi hanguskan , tokoh-tokoh masyarakat (adat dan agama), terutama para pengikut tarekat Khalwatiyyah Samman setempat banyak yang dibunuh karena tidak mau menjadi pengikut mereka dan mengakui “syareat Islam” ala TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar.

Masyarakat Bajo umumnya tinggal di pantai dan hidup sebagai nelayan tulen. Beberapa dari mereka juga membuka ladang  tadah hujan di pulau-pulau kecil dengan menanam jagung, palawija dsb. Mereka pulang pergi seminggu sekali atau tergantung persediaan air, sebab dipulau-pulau itu tidak terdapat sumber air tawar. Orang-orang Selayar membangun perkampungan di kaki perbukitan di Selatan desa. Mereka hidup sebagai petani, peladang atau pegawai.  Sementara orang-orang Bugis hidup sebagai pedagang atau pemilik bagang (jaring apung yang ditarik perahu besar).

Kehidupan social kemasyarakatan warga Labuhan Mapin memang tidak selamanya berjalan mulus. Meskipun belum pernah terjadi konflik secara terbuka, namun Potensi konflik laten-nya cukup tinggi. Terutama akibat persaingan hidup, dan pengaruh politik kekuasaan seperti pemilihan kepala desa atau pemilu. Masyarakat sering terfragmentasi berdasarkan etnisitas dan dimobilisir untuk mendukung calon tertentu sehingga melahirkan konflik yang tidak sehat dikalangan warga. Namun di luar itu semua, kehidupan tradisi masyarakat cukup terjaga dengan baik. Hal tersebut bila mampu dikelola tentu akan menjadi kekuatan budaya yang bisa memberi nilai lebih untuk kemajuan desa Labuhan Mapin. Setiap tahun misalnya, diadakan upacara adat syukuran laut. Begitu juga, pada bulan syawal atau setelah perayaan Idul Fitri, Masyarakat Selayar membuat ayunan raksasa setinggi 15 M. ada seorang sandro khusus yang membuatnya dengan ritual tertentu, yang menaikinyapun harus memiliki kriteria tertentu dan bisa mendendangkan mantra dalam bahasa Selayar lama. Hal-hal itu selain menarik sebagai atraksi budaya yang diperlukan untuk dunia pariwisata, juga bisa mempererat tali persaudaraan antar suku yang hidup di kawasan Labuhan Mapin.

***
Desa Labuhan Mapin terletak di kecamatan Alas Barat Sumbawa, berbatasan dengan Kecamatan Poto Tano Sumbawa Barat. Dalam konteks geografi darat, letak Desa Labuhan Mapin juga cukup strategis, berada diperlintasan Jalan trans/lintas Sumbawa antara pelabuhan penyeberangan Poto Tano dan Ibu kota Kabupaten Sumbawa Besar. Hal ini tentu memudahkan masyarakat dalam meng-akses pasar atau memasarkan hasil sumberdaya perikanan keberbagai tempat di Sumbawa maupun luar Sumbawa. Aspek-aspek ini tentu sangat menguntungkan secara ekonomi. Desa ini juga berpotensi menjadi tempat singgah orang-orang yang lalu lalang dari/menuju Lombok-Sumbawa, termasuk wisatawan Asing. Selama di Labuhan Mapin saya juga sempat bertemu dengan Kapal pesiar (Phinisi) dari Benoa-Bali yang singgah membawa Wisatawan Asing  menuju pulau Komodo.

Prinsip  pengembangan  desa  wisata bahari/pesisir  adalah sebagai salah satu produk wisata alternatif yang dapat memberikan dorongan bagi pembangunan pedesaan yang berkelanjutan serta memiliki prinsip-prinsip pengelolaan antara lain, (1) memanfaatkan potensi alam, keunikan budaya serta sarana dan prasarana  masyarakat  setempat,  (2)  melibatkan masyarakat  setempat sebagai pelaku utama kegiatan kepariwisataan, (3) berskala   kecil   untuk  memudahkan   terjalinnya hubungan timbal balik dengan masyarakat setempat, (4), menerapkan  pengembangan  produk wisata pedesaan yang ramah lingkungan, bercitarasa khusus serta keunikan lainnya. Selain keuntungan secara ekonomi, hal-hal positif lainnya dalam pengembangan Kawasan Desa Wisata Bahari ini adalah terjaganya kelestarian lingkungan, terutama di kawasan pesisir serta menumbuhkan kearifan local dan heritage.

Menimbang potensi tersebut, pemerintah Daerah propinsi Nusa Tenggara Barat berencana mengembangkan Labuhan Mapin Sumbawa sebagai kawasan desa wisata bahari/pesisir secara terpadu dan berkesinambungan. Berbagai persiapan untuk hal tersebut telah mulai dilakukan, dari penyusunan konsep, penataan infrastruktur baik secara fisik maupun ekonomi dan penyiapan sumber daya manusianya. Diharapkan dengan pengembangan sebagai kawasan desa wisata bahari secara terpadu dan berkesinambungan ini segala potensi yang dimiliki masyarakat Labuhan Mapin lebih bisa dimaksimalkan lagi baik secara ekonomi, budaya maupun peningkatan kualitas sumberdaya manusianya.

Dan Alhamdulillah pada tanggal 18 Desember 2011 kemrin Gubernur NTB H. Zainul Majdi berkenan meresmikan pencangan desa Labuhan Mapin sebagai desa wisata Bahari terpadu.Dalam kesempatan tersebut Gubernur yang di dampingi Wagub juga melakukan penanaman pohon, Menyerahkan cek sebesar 500 juta untuk kegiatan bedah rumah tidak layak huni dan bantuan buku untuk perpustakaan masjid. Semoga manfaat... (Paox Iben Mudhaffar)
Share:

6 komentar:

  1. Keren brother
    semoga sumbawa bisa berkembang pariwsisatanya
    untuk kedepann, jangan lupa untuk menggalangkan
    kebersihan karena percuma sesuatu yang indah
    dipenuhi dengan sampahhh semuanya akan percuma
    keep clean brother, salam dari lombok 7og4nk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali.. alam untuk kita, kita untuk alam.. saling menjagalah kita

      Hapus
  2. Postingannya Mantab..
    Sumbawa ku tercinta, senap semu nyaman nyawe, sumbawa punya potensi wisata yang begitu banyak, saking banyaknya pemerintah sampe pusing mengelolanya, cuma promosi-promosi dan promosi, kapan pengembangannya yang bersifat jangka panjang, pengembanganya cuma berkutat di marketing instant, kekurangan utama adalah aksesibilitas, karena pariwisata tak taklain adalah perjalanan, dan bagaimana mau jalan kalau jalannya rusak atau bahkan jalannya ga da sama sekali. Sumbawa perlu jiwa muda macam kita ini.. hehe pd+ngarep. com :D

    BalasHapus
  3. desa yang bersejarah buat saya, tidak salah kalau dijadikan daerah wisata bahari, yang bikin unik ada tiga etnis dengan bahasa yang berbeda masih hidup rukun tanpa missunderstanding dalam berkomunikasi....
    desa yang akan menjadi tempat saya meneliti dari segi sosiolinguistik.
    maju terus buat lab.mapin. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Desaku...walau tak lahir di sana, ayah ibu dan keluarga besarkan ada di sana, jadi pengen cepat" mudik ke Labuan Mapin....heheh
      Maju terus desaku tercinta

      Hapus
  4. kalau kaa gini ceritanya aku kangen banget sama desa labuhan mapin setelah aku membaca ini terasa ga betah di perantauan

    BalasHapus