Cerita Pulau Kaung, Kawin Dulu Baru Bisa Keluar

Baca Juga

Pulau Kaung mungkin tidak banyak yang pernah datang mengunjunginya mungkin kalah terkenal dengan pulau tetangganya yaitu Bungin, untuk itu saya mencoba memperkenalkan pulau Kaung yang tidak kalah menarik dari Bungin, di kaung ini juga banyak menyimpan sejarah dan keunikannya, sejak memasuki Kaung suasananya pun hampir sama dengan Bungin yaitu aroma laut dan arsitektur rumah panggung kayu khas pesisir suku badjo dan Bugis, semua penduduk Kaung berasal dari Suu Badjo, Mandar dan Bugis di Sulawesi dan beberapa juga sudah kawin mengawin dengan orang pribumi (Sumbawa).

Pagi hari sekitar jam 9 saat memasuki pulau Kaung saya terkejut melihat seekor kambing memakan kertas dengan lahapnya seperti dia memakan daun, sayapun menanyakan hal itu kepada seorang ibu yang sedang menyapu halaman, sang ibupun bilang bahwa kambing disini memang sukan makan kertas.

Kemudian saya melanjutkan untuk berkeliling pulau Kaung bersama dua orang teman si Alam dan si Lance yang sudah duluan didepan untuk menuju dermaga kaung, saya terpana melihat rumah-rumah di kaung dengan aneka warna-warni cat rumah mereka yang mencolok sangat indah dan membuat suasananya ceria, Pulau kaung masuk di wilayah Desa Kaung Kelurahan Buer Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa.


Pulau Kaung - Sumbawa

Setelah sampai di dermaga Kaung suasanya begitu mempesona dengan lautnya yang jernih dan bangau-bangau bermain di dekat dermaga, ada kejadian yang lucu saat kami di dermaga yaitu saat saya meminta ijin untuk foto ibu tersebut diapun memberikan ijin, kemudian ibu itu menyuruh saya untuk memfoto seluruh rumahnya sayapun menyanggupinya lalu si ibu bertanya “nak kapan kira-kira rumah saya di bedah?” saya terheran dan menanyakan kembali kepada ibu tersebut “maksud ibu saya petugas untuk foto bedah rumah dari kecamatan ya?” dan ibu pun menjawab “iya nak”, waduh..saya pun tertawa dan menjelaskan kepada ibu itu bahwa saya hanya pengunjung di pulau kaung, si ibupun tertawa dan meminta maaf kepada saya.

Berhubung kunjungan kami dipulau kaung hari jum`at maka sedikit aktifitas dan ramai, karena biasanya di hari-hari yang lain kaum pria di kaung sangat sedikit kebanyakan melaut atau mencari ikan sehingga kaung kelihatan sepi, di setiap hari jum`at mereka libur dari pekerjaan melautnya karena hal ini sudah tradisi sejak nenek moyang mereka dan tukang kayu di kaung juga tidak menerima tawaran kerja di hari jum`at. Kamipun berkeliling lagi di pulau kaung disebelah utara pantainya, dibawah pohon kelapa kami duduk diatas perahu yang sedang diperbaiki, sambil menikmati pemandangan teluk Santong, kemudian datang seorang menghampiri kami dan berkenalan dengan kami, beliau bernama Pak Sumardin asal Kaung yang bekerja sebagai budidaya mutiara dan bertani.

Dinding Rumah Panggung di Pulau Kaung


Pak Sumardinpun bercerita kepada kami tentang asal-usul sejarah Kaung, bahwaa dulunya kaung ini merupakan pulau kosong dan nenek moyang mereka bertempat tingga di pulau sebelah di teluk saleh, setelah meletusnya gunung Tambora dan memberikan dampak yang sangat ekstrim pada kondisi cuaca saat itu, kelaparan melanda dan wabah penyakit, kemudian nenek moyang yang selamat dari letusan Tambora pindah dan menemukan pulau kemudian mereka merangkul semua korban yang selamat dari letusan tambora untuk menempati pulau itu, sehingga pulau itu diberi nama Kaung yang berarti merangkul bersama.

Setelah selamat dari letusan Tambora ada satu masalah lagi yang mereka hadapi, kata Pak Sumardin yaitu kelaparan dan ikan-ikan banyak yang mati, tanah tidak bisa untuk menanam selama beberapa tahun akhirnya dulu nenek moyang mereka menjadi bajal laut atau perompak mencuri dari kapal-kapal. 

Ada yang lebih sangat unik dan menarik lagi yang diceritakan oleh Pak Sumardin yaitu tentang mitos pulau Kaung. Bentuk pulau Kaung ini berbentuk seperti huruf U dimana bila ada pendatang dari luar pulau yang mempunyai niat jahat maka dia tidak akan bisa keluar dari pulau tersebut dan juga bila ada pendatang yang kesasar dan tidak bisa keluar maka dia harus menikahi wanita kaung baru bisa keluar, “di pulau Kaung kawin dulu baru bisa keluar,” kata Pak Sumardin sambil tertawa. Biasanya para nelayan Kaung saat ini mampu mencari ikan sampai ke Sulawesi, Halmahera dan Papua memakan waktu selama tiga bulan hanya untuk mencari ikan berombongan dengan menggunakan 20 kapal, cerita Pak Sumardin.

Setelah itu kamipun pamit kepada Pak Sumardin untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Bima, sungguh sangat luar biasa bisa mendengarkan sejarah dan budaya pulau Kaung dari penuturan Pak Sumardin seorang yang humoris dan bersahabat. 

Tulisan ini kiriman dari Fahru Rizki <fahrurizki19@gmail.com> yang memenangkan giveaway T-Shirt Zammava.


Share:
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar