Baca Juga
Pagi hari
sekitar pukul 8.30 Wita suara dokar dan gemericik bunyi kalung kuda yang
menarik Dokar di sekitar pasar Alas - Sumbawa menemani aktifitas para penduduk,
ramai dan macet di depan pasar Alas membuat saya untuk beristirahat sejenak dan
memarkirkan sepeda motor di pinggir jalan raya depan pasar, sambil menunggu
kemacetan reda saya pun menggunakan kesempatan untuk mengabadikan gerombolan
Dokar yang parkir di depan pasar, di sumbawa aktifitas tranportasi tradisional
masih di pakai dan masih terawat dengan baik.
Satu hingga
sepuluh kali jepretan membuat saya sejenak melupakan kemacetan yang ada, begitu
melihat kemacetan sudah agak reda saya pun melanjutkan perjalanan untuk menuju
pulau terpadat di Dunia yaitu Pulau Bungin, dari pasar Alas kurang lebih 100
meter di tikungan kedua sebelah kiri jalan kearah barat di situ terdapat
kampung kecil di kampung kecil tersebut juga merupakan jalan menuju Pulau
Bungin, bagi yang belum pernah ke Pulau Bungin bisa menanyakan arah menuju
Pulau kepada penduduk sekitar.
Depan
kampung sebelum masuk Pulau saya melihat sebuah rumah makan kecil milik orang
Lombok, kebetulan sejak dari Lombok belum sarapan saya pun memesan satu piring
nasi campur dengan harga Rp.7.000 lumyan enak, selesai sarapan perjalanan
menuju Bungin di lanjutkan dengan akses jalan yang belum di aspal tapi tidak
begitu membuat oleng motor saya karena tanahnya juga sangat keras dan rata,
maklum hawa laut membuat tanah menjadi keras.
Sekitar 20
menit menuju Bungin tepat pukup 10.00 wita akhirnya sampai juga, di sambut oleh
anak-anak sekolah yang menuju sekolahnya di atas bukit dan aroma bau ikan
kering yang dijemur menunjukkan khas dan ciri suasana kehidupan masyarakat
Pesisir. Dulunya untuk menuju Bungin sebelum akses jalan belum di buat hanya
menggunakan perahu.
Memasuki
pemukiman di Pulau Bungin saya pun langsung menuju Masjid di tengah Pulau
terdapat di dunia ini, karena menurut cerita dari penduduk bahwa Pulau Bungin
dulunya berawal di Masjid itu hanya seluas 3 Hektar kemudian berkembang menjadi
pemukiman para Suku Bajo yang datang dari Sulawesi. Para lelaki Pulau Bungin
dulunya diharuskan oleh para tetua Pulau untuk menjadi para Prajurit angkatan
laut Kesultanan Sumbawa di pimpin oleh seorang Panglima Mayu yang terkenal akan
perangnya melawan para Bajak Laut.
Sesampainya
di Masjid ternyata pintu menara terkunci dan Marbotnya kalo tidak salah bernama
pak Zainal sudah keluar untuk ngojek, akhirnya saya melanjutkan untuk menuju
dermaga yang berada di timur pulau, suasana yang sangat indah dan tenang berada
di dermaga sambil melihat aktifitas penduduk pulau yang membersihkan perahu,
menjemur ikan hingga membuat rumah sangat mengasyikkan.
Air laut
yang jernih serasa sangat mengundang saya untuk menceburkan diri, tampak dengan
jelas ikan-ikan kecil yang bermain di bawah perahu, di Bungin sangat jarang
mancing biasanya mereka menggunakan panah untuk menangkap ikan karena
kejernihan air lautnya dapat dengan jelas melihat ikan. Di pinggir pulau ini
tampak seorang yang sedang menumpuk batu karang, saya pun menanyakan aktifitas
tersebut pada sorang yang sedang mencat perahunya, dan dia bilang bahwa itu
untuk membangun rumahnya, karena dulunya tradisi setiap penduduk yang akan
menikah persyaratan dari orang tua calon istrinya yaitu menumpuk batu karang
untuk dijadikan rumah mereka kelak dan itu dilakukan hingga sekarang.
Semakin
penasaran dengan tradisi tersebut saya pun menanyakan lagi dengan pertanyaan
apakah tidak merusak ekosistem laut mengambil batu karang dan kenapa tidak
membangun rumah di seberang selatan pulau, sambil tersenyum sang bapak itu
menjawab mau bagaimana lagi itu sudah menjadi tradisi kalaupun ingin membangun
rumah di seberang pulau sudah menjadi milik orang.
Jam tangan
saya menunjukkan pukul 11.00 siang dan aktifitas di pulau semakin ramai, sangat
menarik juga melihat keunikan rumah di Bungin karena di bawah kolong rumah yang
tingginya 2,5 meter juga dijadikan warung atau kios. Sebagian perkakas ataupun
alat-alat lainnya masih di buat secara tradisional seperti yang saya temui di
salah satu rumah yang sedang menjemur kulit kambing, saya pun menanyakan untuk
diapakan kulit tersebut kepada seorang wanita yang duduk di sebelahnya, dia
menjawab untuk di buat gendang atau Rabana yang di mainkan saat ada acara
pernikahan atau khitanan katanya.
Tapi ada
yang sangat memprihantinkan dengan Pulau Mungil yang cantik dan menarik ini
yaitu aktifitas penduduk Pulau dan jumlah jiwanya semakin meningkat ini membuat
pulau semakin kotor dan di penuhi oleh sampah, sisa bungkusan plastik makanan
instan menumpuk di pinggir belakang rumah penduduk di sebelah selatannya dan
itu dari dermaga hingga Mushollah di arah barat sehingga Nampak kumuh dan
sangat kotor, dan saya berharap semoga Pemerintah Desa Bungin dapat
membersihkan atau memberikan pemahaman penduduknya tentang menjaga keindahan
pulau tersebut.
Seperti
biasa belum lengkap mengunjungi Pulau Bungi kalo belum melihat langsung kambing
yang makan kertas dari sisa bungkusan nasi, kardus ataupun uang kertas. Makanya
bila ke Bungin jangan sampai lembaran seratus uang kertas anda terjatuh selain
manusia yang tertarik terlebih lagi kambing disana sangat memimpikan makanan
uang kertas seratus ribu, candaan salah satu penduduk yang saya temui depan
warung masuk pulau.
Kemudian
saya melanjutkan keliling pulau menuju sebuah sekolah di atas bukit seberang,
menurut saya tempat di atas bukit bisa menjadi view yang sangat bagus untuk
mengambil gambar pulau, sesampai di atas bukit sekolah dan benar dugaan saya
ini di atas bukit ini view nya sangat luar biasa indah dan menakjubkan, sembari
bersantai sambil melihat pemandangan pulau. Pingin sekali dapat menjadi murid
disekolah ini sembari belajar juga bisa sambil melihat keindahan yang dapat
menyegarkan pikiran, dari atas sekolah juga bisa melihat puncak gunung Rinjani
di seberang pulau Lombok, sangat sempurna sekali letak sekolah di atas bukit
ini kata saya kepada salah satu gurunya. (Fahrurizki)