Unru, Pahlawan Dari Sapugara

Unru adalah seorang pejuang dari Taliwang, Sumbawa Bagian Barat. Daerah yang kini dikenal dengan nama Kabupaten Sumbawa Barat, dengan ibukota di Taliwang.

Tahun 1902, tentara Belanda menginjakkan kakinya di Tanah Sumbawa dengan tujuan menjajah dan masuk melalui salah satu pantai yang ada di Taliwang, yaitu Pantai Balat,  Unru menggerakkan rakyat Taliwang untuk berperang melawan Belanda. Sikap Unru bertentangan dengan kehendak Raja Sumbawa, Sultan Muhammad Kaharuddin III, yang memimpin Kesultanan Sumbawa.

Sultan Sumbawa meminta Unru -- yang saat itu menjabat Enti Desa Taliwang (setingkat Camat) -- agar menerima kedatangan tentara Belanda baik-baik. Alasannya, dari segi jumlah, tentara Belanda sangat banyak dibandingkan jumlah rakyat yang dipimpin Unru. Persenjataan yang dimiliki Belanda pun lebih lengkap dari sekedar parang dan tombak yang dimiliki laskar Unru.

Atas dasar ini, Raja Sumbawa sangat khawatir dampak yang ditinggalkan akibat perang. Akan menyesengsarakan rakyat Sumbawa, khususnya rakyat Taliwang.

Tapi Unru tetap tidak peduli. Baginya, melawan kehadiran Belanda di Sumbawa, apalagi masuk melalui pantai yang ada di Taliwang adalah harga mati untuk ditentang.


Yang terjadi kemudian bisa ditebak : Unru dan rakyat Taliwang berperang melawan Belanda. Perang ini dikenal dengan sebutan “Perang Sapugara”, karena pusat pertempuran berada di desa Sapugara, sebuah desa yang berada di salah satu wilayah Taliwang dan tempat Unru dan keluarganya menetap. Walaupun pada akhirnya Desa Sapugara ketika itu akhirnya hangus terbakar oleh pasukan tentara Belanda yang berhasil menerobos masuk.

Pasukan Unru bahkan berhasil dilumpuhkan tentara Belanda yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya karena terus berdatangan dari Lombok. Tentara Belanda mengepung Bangkat Monte, tempat pertempuran terakhir selama berhari-hari. Laskar Unru tak berdaya seiring habisnya persediaan makanan.

Jelas cerita perjuangan Unru ini bukanlah cerita dongeng dongeng belaka. Pada 1906 itu pula Unru dan semua rakyat yang mengikuti perjuangannya ditangkap.  Unru dan keluarganya dibuang ke Makassar. Enam bulan berselang, Unru dan keluarganya diungsikan ke Cirebon, Jawa Barat.

Unru meninggal dunia di Cirebon pada 1927 dan dimakamkan di Cirebon. Tempat pemakamannya itu bernama Pemakaman Kosambi Cirebon. Di batu nisannya, tidak menyebut nama Unru, melainkan “Tuan Pangeran” dari Sumbawa, karena rasa hormat Raja Cirebon kepada Unru.

Tulisan ini adalah tulisan dari Bapak Adi Pranajaya yang pernah membuat film tentang kisah heroik perlawan Unru pada tentara Belanda di Desa Sapugara - Sumbawa Barat.

Menemukan Makam Unru di Cirebon



Share:

Bermalam di Pondok Pemburu di Lereng Tambora

Hujan turun mengguyur pemukiman transmigrasi SP (Satuan Pemukiman) 4, Kawinda Toi, Kabupaten Bima. Jam menunjukkan pukul 1.00 siang, mobil kami berkeliling menuju gerbang pendakian Tambora Kawinda Toi untuk menjemput rombongan Bu Fadlun yang kemarin (Sabtu) mendaki. Suasana pemukiman transmigrasi amatlah sepi, hanya terlihat beberapa orang yang sedang duduk depan rumah mereka. Di tengah-tengah pemukiman terdapat satu Sekolah Dasar (SD) Sorilaju, berhubung masih liburan sekolah tampak sepi.
Juga itu hari Minggu (9/7/2017) sehingga banyak warga pergi ke kota Dompu atau Cabang Banggo untuk berbelanja, makanya tampak sepi. Tengah perjalanan menuju gerbang pendakian, segerombolan babi hutan lewat depan kami, begitu banyak layaknya kawanan kambing piaraan warga, sudah tidak takut lagi akan sesuatu yang asing, kata kami. Saya dan satu orang supir kebetulan kakak saya, mobil terus melaju mengikuti tanda  yang di buat menuju gerbang pendakian. Bukan hanya sekali ini saya datang ke kawinda Toi, ini yang ke empat kalinya setelah kemarin sebelum Ramadhan saya membagikan Wakaf Al-Qur`an dari Gerak Bareng Community di Masjid Kawinda To`i.
Hujan agak reda sejenak kami berbaring diatas mobil, kemudian seorang anak kecil mendekati mobil dan dibalik kaca dia melihat kedalam mobil, sontak saya kaget dibuatnya, lalu saya turun dari mobil  menanyakan asal anak tersebut? Ternyata rumahnya beberapa meter dari tempat kami memarkirkan mobil, karena rumahnya tertutup oleh rerimbunan pepohon jambu mente oleh sebab itu tidak kelihatan.
Awal anak pertama Aba Fi bersama anjing pemburu piaraannya.
Bau tanah sehabis hujan sangat menyejukkan ditambah udara sejuk yang datang dari atas pegunungan Tambora, “Namamu sapa dek?” Tanya saya pada anak tersebut, “Jum nama saya aba” kata dia. Aba dalam tradisi bima disebutkan untuk orang-orang yang lebih dewasa, “datang apa aba kesini?” Tanya si Jum, lalu saya menjelaskan kepada dia, kemarin hari Sabtu ada rombongan teman saya untuk mendaki Tambora melewati jalur kawinda To`i, hari ini kami datang menjemputnya, jelas saya kepada Jum. “oh iya kemarin (Sabtu) saya lihat ada rombongan di pos air terjun,” jawab Jum.
Selang beberapa detik hujan turun kembali mengguyur pemukiman transmigrasi sangat deras, kemudian si Jum mengajak saya untuk berteduh kedalam pondoknya yang sederhana. Dengan tergesa-gesa menghindari hujan saya masuk kedalam pondok Jum, alangkah kagetnya ketika disamping pintu ada sesosok seorang anak kecil yang lagi yang berdiri sebelah pintu. Ternyata dia adalah adiknya si Jum, namanya Dian, dengan gesitnya si Dian mengambil tikar dan mempersilakan saya untuk duduk, saya lebih memilih berdiri saja karena begitu mengasyikkan menikmati hujan turun dalam kesunyian pelosok Tambora. Kakak saya Farid, dia meilih berteduh di dalam mobil.
“Orang tua kalian kemana?” Tanya saya kepada si Jum. “Ama sama kakak saya pergi mengambil anjing di transmigrasi SP3, dan Ina lagi duduk di rumah tetangga sebelah sekolah” jawab si Jum, Ama adalah panggilan untuk seorang bapak sedangkan Ina panggilan untuk Ibu dalam tradisi Bima. Agak heran saya mendengar jawaban tersebut, karena penasaran saya menanyakan lagi untuk apa anjing itu, dalam benak saya mengira untuk menjaga rumah atau lahan kebun jambu mente, karena seperti yang saya ketahui bahwa biasanya orang Bima memelihara anjing untuk menjaga kebun mereka. Agak kaget mendengar penjelasan darinya, bahwa anjing tersebut digunakan untuk ‘Nggalo’ kata si Jum.
Nggalo adalah tradisi lama Suku Mbojo (Bima) untuk berburu rusa. Nggalo sendiri artinya berburu, hewan yang biasa diburu adalah Rusa atau biasa disebut ‘Maju’ oleh orang Bima. Namun tradisi ini sudah mulai hilang, ada beberapa faktor yang menurut saya kenapa Nggalo sudah agak jarang dilakukan  pertama karena pelarangan untuk berburu rusa oleh pihak yang bersangkutan dan kedua adalah masyarakat Bima yang sekarang lebih meilih bertani jagung atau bawang yang dinilai lebih banyak keuntungannya.
Jum memegang tanduk rusa istimewa dari koleksi miliknya.
“biasa bisa dapat berapa ekor jika Nggalo Maju”, Tanya saya pada si Jum. Kemudian Jum bercerita biasanya ketika Ama pergi Nggalo bisa dapat 20 hingga 30 ekor rusa dalam satu minggu, kaget mendengar ceritanya. Jum juga sering ikut berburu jika liburan sekolah katanya diatas gunung bisa satu minggu dan lebih untuk menunggu tangkapan, yang lebih membuat saya kaget dan semakin menarik mendengar cerita Jum yaitu metode perburuan yang mereka pakai adalah dengan cara lama menggunakan ‘Sarente’ yaitu sebuah perangkap. Orang Bima dahulu menggunakan Sarente yang terbuat dari tali berasal dari kulit pohon kemudian Sarente dipasang dalam hutan dan tinggal menunggu rusa yang masuk perangkap. Namun Nggalo tidak menggunakan senapan hanya menggunakan anjing untuk menggiring rusa menuju perangkap yang sudah dipasang, jelas Jum kepada saya. Mereka berdua, Dian sekarang duduk dibangku kelas 2 SD Sorilaju sedangkan Jum duduk dibangku kelas 3 pada SD yang sama.
Tanduk rusa, ujungnya berwarna kuning.
Sarente yang terbuat dari kawat.
Kemudian Jum menuju kamar untuk mengambil tanduk rusa koleksinya. Katanya tanduk koleksinya tersebut adalah tanduk terbaik dari berbagai tanduk rusa yang pernah mereka tangkap. Tanduk tersebut berwarna kuning ujungnya, tidak seperti tanduk rusa lainnya yang berwarna coklat tua. Tak terasa jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 3.00 sore, namun rombongan belum juga turun kemungkinan mereka camping lagi semalam akibat hujan, pikir kami.
Dari jauh sebelah utara terlihat sepeda motor mendekati kami, “Ama sudah datang dengan kakak saya”, pinta si Jum. ternyata benar itu adalah Ama si Jum dengan motor bebek dan depannya terletak karung yang berisi anjing. Kami berkenalan dengan Ama si Jum, namanya adalah Taufik biasa orang memanggilnya Aba Fi, kemudian beliau pamit untuk mengikat anjingnya kebelakang lalu suara anjing menggonggong begitu banyak terdengar dari belakang, ternyata ketika hujan mereka tidak kelihatan dan terdengar kami juga kaget ketika beberapa anjing datang menghampiri Aba Fi.
Kemudian Aba Fi mempersilakan kami duduk di bale-bale depan rumahnya dibawah pohon jambu mente, setelah kami menjelaskan tujuan kami singgah di rumahnya, Aba Fi lalu memperkirakan rombongan akan turun besok antara jam 3 atau 4 sore, katanya. Selang beberapa detik istri Aba Fi datang di gonceng oleh anak pertamanya bernama Awal, lalu Aba Fi menyuruh istrinya untuk membuatkan kopi, suasana begitu hangat akan keramahan keluarga Pak Taufik (Aba Fi).
Hari sudah mulai gelap di lereng Tambora terdengar gonggongan anjing peliharaan Aba Fi dibelakang rumah seakan memperingatkan sesuatu, tiba-tiba suara rintik hujan terdengar dan selang beberapa detik hujan kembali turun dengan derasnya. Lalu Aba Fi mempersilakan kami untuk masuk kedalam rumahnya, tikar dan karpet digelar oleh istrinya, kemudian tiga gelas kopi di hidangkan. “Ayo silakan diminum ini kopi buatan sendiri”, kata istrinya.
Pak Taufik atau biasa di sapa Aba Fi dan istrinya Ibu Hana.
Aroma kopi begitu menggoda di tambah di luar hujan menjadikan obrolan kami begitu asik dan lupa akan kabar rombongan, dengan di sinari oleh lampu handphone sebab di Kawinda Toi listrik belum masuk dan juga sinyal hp, katanya aka ada sinyal hp kedepannya oleh salah satu perusahaan. Namun tidak menjadi masalah dikala obrolan semakin mengasyikkan. “Dahulu jalur itu, berawal dari kami”, kata Aba Fi sambil meminum kopi dan membakar satu batang rokok miliknya. Jalur pendakian Kawinda Toi memang dikenal dengan jalur pemburu karena awal pertama kali para pemburu yang membukanya, sekitaran tahun 2008 oleh para pecinta alam Bima mencoba menapaki jalur tersebut, cerita Aba Fi.
Biasanya untuk mengambil jalur ini harus saat waktu subuh, supaya nanti jam 12 siang sampai di pos 3, dari pos 3 bisa camping dulu untuk istirahat, lalu besok subuh lagi baru menuju puncak, jelas Aba Fi. Berbagai kisah mistis kerap menghiasi gunung Tambora, pengalaman mistis seperti yang dialami Aba Fi. Ketika itu mereka (pemburu) mendengar berbagai macam suara berisik layaknya suasana perkotaan, namun itu hanya terdengar jika melewati salah satu jalur khusus yang sangat jarang orang ketahui, kisah Aba Fi sambil menghisap rokok di tangan kirinya.
Aba Fi dan istrinya menceritakan berbagai pengalaman mereka tinggal di Transmigrasi SP 4.
Sambil minum kopi dan kudapan biskuit menemani kami sambil mendengarkan cerita perburuan Aba Fi.
Jika pergi berburu rusa ratusan perangkap (Sarente) yang sudah terbuat dari kawat kabel yang dibelinya seharga dua jatu, di panggul oleh dua orang, anaknya Jum turut serta dibawanya untuk berburu. Biasanya jika pergi Nggalo lamanya bisa sampai satu minggu hingga dua minggu, kadang juga bisa mencapai satu bulan tergantung rusa yang masuk perangkap. Sarente biasanya dipasang waktu sore, tingginya diperkirakan sesuai dengan tinggi leher rusa dewasa, kisah Aba Fi.
Rusa yang didapat bisa mencapai 20 ekor kadang jika musim berburunya baik kadang mendapatkan 30 ekor, juga Nggalo tergantung kelincahan dari anjing yang peka melacak jejak rusa, biasanya anjing yang dibawa sejumlah 6 ekor kadang lebih, tergantung jumlah pemburu yang turut serta ikut. Ketika malam mereka tidur di atas Ngguwu (pondok kecil) yang sudah dibangun oleh para pemburu, tinggal di tutupi dengan terpal. Jum sangat suka ketika berada diatas sana, memasak hingga mengambil air jalurnya sudah dia hafal semuanya, kata Aba Fi sambil mengusap kepala Jum.
Sejak kecil Aba Fi sudah diajarkan berburu oleh orang tuanya dan sekarang ilmu berburu juga akan dia ajarkan kepada ketiga anak laki-lakinya yaitu Awal (pertama), Jum (kedua), Dian (ketiga) dan Wati anak perempuan satu-satunya dan yang paling bungsu. Istri Aba Fi bernama Hanah mereka berdua berasal dari desa Manggelewa Dompu, dan menetap di transmigrasi SP4, kawinda Toi, Bima. mereka datang sejak tahun 2004 setelah menikah, semua anaknya dilahirkan dipondok kecil sederhana mereka. Juga pernah istrinya melahirkan sendirian anak ketiganya (dian) ketika Aba Fi pergi ke kota, cerita Ibu Hana.
Tidak terasa malam semakin larut udara dingin lereng Tambora mulai menyelimuti kawasan SP4, dan Awal sudah datang dengan AKI untuk memasang lampu. Ketika Ibu Hana ingin memasakkan makan malam buat kami berdua, dengan sopan kami menolak karena tadi sore sudah makan di pondok Konservasi Taman Nasional Tambora, pinta kami. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 10 malam, Aba Fi menawarkan tempat tidur dalam pondoknya namun kami memilih untuk tidur dalam mobil karena takut merepotkan. Kebetulan di luar bulan sangat terang, dibawah pohon jambu mente kami memarkirkan mobil dan langsung tidur berhubung badan juga kecapean.
Gonggongan anjing membangunkan kami pada pagi buta di tambah suara Jum dan Dian yang bermain dengan ayam mereka. Di ufuk timur terlihat sang fajar sudah memerah kamipun bangun untuk menikmati suasana pagi di SP4. Dari depan halaman rumah Aba Fi sebelah selatan terlihat jelas puncak kawah Tambora tanpa ditutupi awan, sangat indah ketika matahari menyinari puncaknya.
Lalu Aba Fi keluar menghampiri kami kemudian dia menjelaskan jalur pendakian di jalur pemburu sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah gunung Tambora. Kemudian di depan rumahnya Ibu  Hana memanggil kami untuk sarapan, sangat istimewa bagi kami bisa sarapan di rumah Aba Fi apalagi di bawah rimbunnya pohon jambu di atas bale-bale depan rumahnya.
Pagi hari gunung Tambora tampak cerah tanpa awan yang mengitari.
foto bersama dengan latar gunung Tambora, kakak saya (Farid), Aba Fi, Dian, Wati, Saya dan Jum.
Jum bertugas memberikan makanan pada anjing pemburu mereka pagi hari.
Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 10 dan sudah tanggal 10 (Juli/2017), rombongan Bu Fadlun belum juga nongol, agak was-was takutnya mereka kesasar. Kemudian si Jum mengajak saya ke air terjun, dari pondok Aba Fi jaraknya sekitar 800 meter berjalan kaki, saya di suguhi motor namun saya lebih memilih berjalan kaki hitung-hitung untuk olah raga. Bersama Jum, Dian, dan Wati setelah berjalan lama akhirnya kami sampai juga di tujuan, memang sangat luar biasa indahnya air terjun di tambah airnya yang sangat jernih dan bersih, kicauan burung berirama dengan desiran sungai. Inilah tempat impian untuk berlibur sahut saya dalam hati, setelah berlama di air terjun kamipun kembali ke pondok.
Jam tangan sudah menunjukkan pukul 12.00 siang rombongan Bu Fadlun belum juga tiba, lalu Aba Fi menyuruh Awal untuk pergi ke Pos 1 untuk menunggu rombongan. Saya beristirahat sambil berbaring, satu jam kemudian tiba-tiba datang Awal mengabarkan bahwa mereka sudah turun, sangat bersyukur akhirnya mereka sampai juga pada pukul 2.00 siang seperti yang diperkirakan oleh Aba Fi. Setelah semua barang dan rombongan sudah naik ke atas mobil, kamipun pamit kepada Aba Fi dan keluarganya, keramahan serta kisah perburuannya akan selalu dikenang. (Note & Photo by fahrurizki)

Jum menggendong adiknya Wati ketika turun menuju air terjun.
Air terjun pos 1 kawinda Toi dan masih ada 6 terjun lainnya di jalur ini.
Kembali menuju pondok Aba Fi dari air terjun pos 1.

Share:

Mantar Paragliding XC Open West Sumbawa 2017 Siap Digelar


Pesona Mantar 2017 Siap Digelar

Pada 18 sd 24 Juli 2017 yang akan datang,Dinas Pariwisata Prov NTB,  Pemerintah Kab Sumbawa Barat bekerjasama dengan KONI, FASI NTB dan pihak terkait lainnya akan menyelenggakan event Mantar Paragliding XC Open 2017 yang berskala internasional di Desa Mantar Kabupaten Sumbawa Barat

Dalam press conference yang digelar di Hotel Asroria Mataram Kepala Dinas Pariwisata NTB, Lalu Moh Faozal mengungkapkan bahwa event international Mantar Paragliding 2017 yang berlangsung di Desa Mantar, Sumbawa Barat merupakan kejuaraan dunia yang selalu diikuti oleh atlet-atlet kelas internasional, sehingga lokasi yang dipilih untuk penyelenggaraan eventnya harus berkelas dunia pula.  Mantar merupakan salah satu site yang sangat mendukung dari segi lokasi, pemandangan dan kualitas angin.

Event ini merupakan event tahunan yang kali ini merupakan ketiga kalinya dilaksanakan di Desa Mantar. Sementara hingga presconference ini digelar sudah ada 50 peserta lokal dan 45 peserta Internasional yang terdaftar mengikuti Mantar Paragliding XC Open 2017

Peserta mejingkat secara signifikan, dilihat dari peserta tahun lalu yang hanya 12 orang, Peserta yang terdaftar merupakan penerbang-penerbang internasional dari negara seperti Jepang, India, Nepal, Korea, Pakistan, Thailand, Cina, Australia, Swiss dan Belanda. Mereka semua  akan hadir dan berkompetisi di Arena Paragliding Mantar yang memiliki arena terbang multi arah ini.

Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) bekerjasama dengan Pemda Sumbawa Barat (KSB) serta pihak terkait terus melakukan pembenahan sejumlah fasilitas pendukung dan persiapan lainnya menyongsong pelaksanaan Kejuaaraan Dunia Paralayang, Mantar Paragliding XCross Country (XC Open) yang akan dihelat pada 18 – 24 Juli mendatang di Desa Mantar, Kecamatan Poto Tano, KSB
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTB berharap event ini akan menjadi ajang untuk mengenalkan potensi pariwisata di Sumbawa Barat khususnya Desa Mantar yang sudah terlebih dahulu terkenal dengan keindahan alam dan keunikan masyarakatnya

Dalam Press Confrence yang berlangsung di Hotel Lombok Astoria (15/07) juga turut hadir Nicky Moss selaku Meet Director beserta team dan Kepala Dinas Kabupaten Sumbawa Barat, Sumbawanto yang juga turut memberikan keterangan pers tentang penyelenggaraan Mantar Paragliding XC Open 2017 ini, beliau berharap Mantar Paragliding XC Open 2017 bisa menjadi ajang promosi bagi Mantar dan destinasi wisata lainnya di KSB agar juga dikenal dunia. Kita sangat mengharapkan dukungan dari seluruh masyarakat karena dukungan masyarakat adalah bagian yang sangat penting untuk suksesnya event ini
Share:

Gili Bedis, Raja Ampat Mini di Sumbawa Barat

Sumbawa memiliki banyak sekali Gili (pulau) kecil, dan kebanyakan merupakan Pulau-pulau yang tak berpenghuni. Jadi bisa dipastikan pulau-pulau tersebut masih terjaga keaslian dan kebersihannya. Karena selain tak berpenghuni juga masih sangat jarang didatangi bahkan ada pulau yang tidak pernah didatangi kebanyakan orang. Masyarakat lokal juga masih banyak yang memegang teguh kepercayaan dan kearifan lokal, misalnya di pulau A tidak boleh di masukin karena ada ini ada itu. Dan sejenisnya.

Nah liburan kemarin, saya dan teman-teman berkesempatan berkunjung ke Sebuah Pulau Kecil di sebelah Pulau Paserang dan Pulau Belang. Pemandangan dari atas pulau tersebut sangat mengagumkan, seperti melihat Raja Ampat versi mini. Pulau Bedis namanya, masyarakat lokal juga kadang menyebutnya pulau Setan, alasannya karena disana menurut mereka ada "penunggunya" juga banyak ularnya. Jenis ular dengan corak kulit merah hitam dan putih yang suka mengejar mangsanya. Hii ngeri kan?! Tapi karena udah terlanjur penasaran dengan cerita-cerita dari seorang sahabat yang pernah kesana, kamipun nekat menuju kesana.

Karena kami datang dari arah yang berbeda maka kami sepakat meeting point kami di depan SMAN Poto Tano, selanjutnya kami menuju desa Sepakek bersama-sama. Desa Sepakek masuk wilayah kecamatan Poto Tano, menurut cerita seorang pria tua yang duduk di gazebo di pantai Sepakek, Desa ini adalah desa sudah dikenal sejak dulu karena di peta lama yang ia punya tapi tidak ia bawa, nama Sepakek sudah ada sebelum nama-nama wilayah lainnya di sekitar sana. Sayangnya saya kurang yakin sih karena tidak ada bukti yang otentik hehehe.


Dari desa Sepakek kami naik perahu cadik milik nelayan. Perahu kecil yang biasa dipakai melaut, yang hanya bisa memuat 7-10 orang. Dengan perahu mungil ini kami akan menyeberangi lautan selama 30 menit lebih dengan ombak yang sempat membuat nyali ciut. Semua barang elektronik dan harus tersimpan aman dari air karena ombak yang sampai naik dan membasahi kami semua. Basah kuyup!
Sesampai di Gili Bedis yang ternyata bertetanggaan dengan Pulau Paserang yang populer itu, kami bertemu beberapa nelayan yang sedang istirahat di tepian pulai itu, duduk berlatarkan semak belukar dan bukit kecil yang menjulang dengan kemiringan lebih kurang 45 derajat bahkan kurang. Melihat medan yang seperti itu dan cuaca yang sedang terik kami semakin tertantang. Meski nelayan-neleyan itu mencoba menciutkan nyali kami dengan cerita-cerita seram mereka tentang "penunggu" dan ular di pulau ini. Kami memang takut pak, tapi dikit aja. Sisanya gassssss, lanjoooot!


Dengan sangat hati-hati tetapi happy kami mendaki bersama-sama bukit kecil ini. Tekstur medannya bebatuan dengan rerumputan khas pulau-pulau di Sumbawa. Tergelincir sedikti saja bisa langsung guling-guling ke bawah, terbentur batu atau langsung disambut duri-duri di bawah sana. Yang saya rasakan hanyalah senang, bahagia dan bahagia. Tak peduli seberapa takut teman-teman saya hahaha. Karena kadang, kita butuh hal-hal menakutkan untuk selalu berhati-hati dalam melangkah dan memang tidak sampai 20 menit kami sudah berada di atas bukit Gili Bedis yang berupa seonggok bukit batu yang ditumbuhi rerumputan di bagian barat dan semak belukar di bagian timur, saya curiga ular-ular itu pasti ngadem di bagian timur.
\
Dan inilah bagian terbaiknya!


Dari atas bukit kamu akan menyaksikan pemandangan yang menakjubkan. Pemandangan yang sangat berbeda dari tempat lain di Sumbawa. Saya melihat Raja Ampat mini di Sumbawa Barat ini. Ya gugusan pulau-pulau kecil di antara Gili Bedis dan Gili Belang dengan warna air laut yang cantik membuat tempat ini sangat mirip dengan Raja Ampat. Gila. Gak rugilah jauh-jauh kesini, basah kuyup di perahu, dan melawan rasa takut. Tapi saking teriknya pakaian kami yang tadinya basah kembali kering sempurna hahaha. Inilah Sumbawa.

Kalian harus kesini genks!






Pulau Paserang dari Pulau Bedis

Share:

Bagaimana Menuju Pulau Moyo?


Akses perjalanan ke Pulau Moyo bisa dibilang cukup mudah, kita bisa menyewa satu boat dengan tarif 1,5jt untuk pulag pergi eksklusif. Biaya segitu bisa jadi ringan dengan berangkat secara rombongan. Atau kamu bisa ikut perahu warga yang rutin mengantar warga dari Pulau Moyo berbelanja atau berjualan ke Pasar di Sumbawa, tentu dengan budget yang lebih minim sekitar 25-50 ribu saja. Tetapi kita tidak tahu pasti jam berapa perahu tersebut berangkat kembali ke Pulau moyo setelah semua penumpang berkumpul. BIsa jadi sekitar jam 11-12 siang. 
Selanjutnya kita akan menyeberang menuju pulau moyo dari dermaga Pantai Jempol, Labuhan Sumbawa selama lebih kurang dua jam, dengan arus yang cukup membuat teman-teman yang ikuta nkemarin pucat hehehe, kalau saya mah santai aja selama yang pegang kemudia juga asik bersedandung ria.

Dari dermaga Labuan Aji di Pulau Moyo kita sudah memasuki titik awal dari petualangan kita di pulau Moyo. Nanti kalian akan di dekati oleh bapak-bapak yang tugasnya menjelaskan tentang  bagaimana menuju air Terjun Mata Jitu. Di Part ini, level gak-sabar-pengen-liat-mata-jitu saya dan teman-teman sudah  hampir memuncak, penasaran yang hampir terjawab itu memang membuat gelisah dan membuat kita berpikir cepat(baca: berpikir pendek), si bapak menjelaskan untuk ke air Terjun ada dua pilihan, pertama Trekking alias jalan kaki sejauh 7 kilometer  dengan medan yang landai berbatu, atau naik ojek dengan biaya dewa 100 ribu rupiah. Rinciannya 30 ribu untuk biaya pengunjung masuk, 70 ribu untuk si tukang ojek.  Tadinya kami sepakat mau seru-seruan jalan kaki tetapi mengingat jarak yang cukup jauh dan waktu yang terbatas akhirnya kami harus merelakan uang kami 100 ribu untuk naik ojek. No Problem!




Medan menuju Air Terjun Mata Jitu tidak bisa dibilang aman dan baik, lebih tepat disebut ekstrim karena sebagian besar jalannya rusak parah.  Rabat yang berlubang disana sini, batu-batu curam di tengah jalan bisa berbahaya untuk tukang ojek dan penumpangnya, apalagi dengan kecepatan yang tinggi. Selama perjalanan saya terus, berdoa semoga tidak jatuh dan juga kesal kenapa jalan menuju destinasi wisata yang terkenal di seluruh dunia ini seperti ini?  Beruntungnya saya terlibat obrolan yang asik dengan driver ojek saya yang bernama Aldi, siswa kelas 1 salah satu SMA di Kota Sumbawa. Yang akhirnya agak menekan sedikit panik karena jalanan yang ekstrim. Tak sampai 10 menit jarak 7 kilometer berhasil kami lewati, setelah itu tinggal jalan sekitar 200-300 meter sebelum sampai tujuan besar kami hari itu ; Mata Jitu!



Share:

Tiu Sebangka, Wisata Air Terjun dan Tradisi di Mapin Rea


Tiu Sabangka adalah salah satu obyek wisata yang berada di kecamatan Alas Barat tepatnya di desa Mapin Rea yang berada paling selatan, berjarak seKamur 6 km dari kantor camat Alas Barat atau 83 km dari Sumbawa Besar. Disana genks, Terdapat tiga gerbang menuju desa Mapin Rea yang berbentuk persimpangan jalan yaitu, simpang Labuhan Mapin, simpang Usar Mapin (samping kantor camat), dan simpang Lekong dibagian Timur.


Jika kamu ingin mengunjungi Mapin Rea kamu bisa menggunakan sepeda motor, bemo, dan ojek. Di sepanjang jalan mata kamu bakal dimanjakan oleh pesona lingkungan dengan dikelilingi oleh panorama pegunungan yang menjulang serta area persawahan yang luas nan indah bak permadani. Jelas, karena mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan orang-orang disini dikenal sangat ramah terhadap tamu yang berkunjung. Jadi kamu gak usah khawatir atau takut bakal dicuekin kalau ke Mapin.



Desa Mapin Rea dianugerahi pemandangan alam yang sangat indah, diantaranya Tiu Sabangka. Tiu artinya genangan air di sungai dengan volume cukup besar, Sabangka adalah satu bahtera. Sehingga Tiu Sabangka adalah suatu genangan air dalam satu bahtera yang besar. Sedangkan makna konotasinya adalah tempat pemandian alami yang sering dikunjungi pemuda pemudi yang mencari cinta, konon katanya pada zaman dahulu merupakan tempat turunnya bidadari. Asiik!

foto : beritasumbawa.net

Menambah keindahannya dengan dua air terjun sederhana dengan suara gemercik bagai gong (alat musik tradisional Sumbawa) acap kali mengalun dari kejauhan ditambah lagi panorama bebatuan besar menghiasi pemandangan alam itu. Untuk mencapai lokasi penuh dengan rintangan, sebelum melewati bendungan Batu Tata yang merupakan pintu pengairan menuju sawah masyarakat setempat. Bendungan itu sangat sering dikunjungi karena kesejukannya dan hamparan rerumputan yang tetap menghijau. Dari pedesaan menuju bendungan berjarak 2 km dapat ditempuh menggunakan sepeda motor. Sedangkan dari bendungan ke Tiu Sabangka berjarak seKamur 1 km ditempuh dengan jalan setapak atau melalui sungai melewati bebatuan.
Dulunya Tiu Sabangka merupakan lokasi yang banyak dipilih warga untuk melepaskan penat seusai bekerja. Memandang hutan penuh burung yang berkicau di atas pepohonan besar yang menyejukkan hati seakan lelah tak terasa. Destinasi yang satu ini cocok banget untuk liburan keluarga dan buat  yang ingin menghirup udara segar bersama orang-orang terinnta. Mata Air di disini sangat jernih dan dalam, cocok banget buat yang ingin nyeburr dan berbasah-basahan, sementara di atasnya terdapat genangan air jernih yang dangkal udah kayak jacuzzi pribadi, cocok untuk tempat main air anak-anak. Komplit sekali, seakan tempat ini disulap untuk rekreasi oleh yang Maha Kuasa.

Selain Tiu Sabangka terdapat juga Tiu Sagemong yang tidak kalah indahnya, dimana debit airnya lebih stabil dan lebih jernih begitu juga dengan bebatuan di sekelilingnya yang selalu terlihat basah. Jarak  yang ditempuh dari Tiu Sabangka menuju tiu Sagemong seKamur 1 km. Wajar walaupun jaraknya tidak begitu jauh tetapi rintangan mendaki bebatuan dan melewati beberapa air terjun tinggi yang sedikit sulit dilewati. Tetapi kelelahan itu terbayar ketika raga disejukkan oleh suasana alam Tiu Sagemong.


Dibalik keindahan alam yang asri dan indah terdapat juga adat istiadat atau budaya yang terus dikelola dan dilestarikan seperti biso tian pade, gentao, munit, ratib, gong genang, rabana ode, dll. Biso tian pade adalah wujud rasa syukur atas suksesnya para petani yang  telah berhasil bercocok tanam pada musim penghujan, kegiatan ini diselenggarakan di sungai dan sudah menjadi agenda rutin masyarakat Mapin Rea. Biasanya diselenggarakan diantara bulan Maret ataupun bulan April bergantung kepada tanaman padi ang tumbuh. Biso tian pade juga identik dengan sepat(masakan khas sumbawa), tidak sembarang sepat tetapi sangat berbeda yaitu sepat reban yang bahan utamanya adalah kosong’(jantung pisang) dan dibuat di reban(bendungan kecil) yang menjadi salasatu makanan kesukaan penduduk desa Mapin Rea. Selain itu ada beberapa makanan dan minuman khas olahan pemuda desa Mapin Rea diantaranya kripik gandum, bolu merah, sandwice, teh sepang, minuman herbal PAPEN BUTHI dll.
Genks, kayaknya kamu harus kesini deh! (Anggun Firmansyah)

x

Share:

Air Terjun Mata Jitu, Telaga Surgawi di Pulau Moyo


Halo Genks!
Masih pada liburan kan? Liburan masih panjang nih. Udah kemana aja selama liburan di Sumbawa? Jangan bilang cuma nungguin rumah nenek atau ikut bokap nyokap ke rumah-rumah keluarga doang tanpa jalan-jalan dan explore. Rugi banget. 

Sumbawa memiliki beraneka pilihan destinasi wisata yang bisa kamu pilih, sebagian besarnya termasuk wisata adeventure karena sebagian destibasi memang butuh nyali dan semangat yang lebih untuk mendatanginya. Akses jalan yang menjadi tantangan utama karena memang destinasi-destinasi wisata yang ada di Sumbawa masih perawan semua, kamu tahu sendiri dong gimana susahnya menaklukan perawan hehehe. Tapi genks, semua sesuai dengan keindahan surga yang akan kamu temukan. Sumpah!

Jadi hari kamis kemarin (28/06) kita adain #JalanBareng sekaligus kopdar dengan teman-teman follower instagram dan twitter @JelajahSumbawa, Mengingat selama ini belum ada kegiatan offline bareng jadi kemarin adalah saat yang tepat. Lewat social media kita mulai mengatur rencana, rembuk bareng dan akhirnya memutuskan untuk #jalanbareng ke Pulau Moyo. Pulau yang namanya mendunia, pulau yang menjadi idaman pesohor-pesohor dunia untuk berlibur dengan tenang dan nyaman.
Share: