Hujan turun mengguyur pemukiman transmigrasi SP (Satuan Pemukiman) 4, Kawinda Toi, Kabupaten Bima. Jam menunjukkan pukul 1.00 siang, mobil kami berkeliling menuju gerbang pendakian Tambora Kawinda Toi untuk menjemput rombongan Bu Fadlun yang kemarin (Sabtu) mendaki. Suasana pemukiman transmigrasi amatlah sepi, hanya terlihat beberapa orang yang sedang duduk depan rumah mereka. Di tengah-tengah pemukiman terdapat satu Sekolah Dasar (SD) Sorilaju, berhubung masih liburan sekolah tampak sepi.
Juga itu hari Minggu (9/7/2017) sehingga banyak warga pergi ke kota Dompu atau Cabang Banggo untuk berbelanja, makanya tampak sepi. Tengah perjalanan menuju gerbang pendakian, segerombolan babi hutan lewat depan kami, begitu banyak layaknya kawanan kambing piaraan warga, sudah tidak takut lagi akan sesuatu yang asing, kata kami. Saya dan satu orang supir kebetulan kakak saya, mobil terus melaju mengikuti tanda yang di buat menuju gerbang pendakian. Bukan hanya sekali ini saya datang ke kawinda Toi, ini yang ke empat kalinya setelah kemarin sebelum Ramadhan saya membagikan Wakaf Al-Qur`an dari Gerak Bareng Community di Masjid Kawinda To`i.
Hujan agak reda sejenak kami berbaring diatas mobil, kemudian seorang anak kecil mendekati mobil dan dibalik kaca dia melihat kedalam mobil, sontak saya kaget dibuatnya, lalu saya turun dari mobil menanyakan asal anak tersebut? Ternyata rumahnya beberapa meter dari tempat kami memarkirkan mobil, karena rumahnya tertutup oleh rerimbunan pepohon jambu mente oleh sebab itu tidak kelihatan.
Awal anak pertama Aba Fi bersama anjing pemburu piaraannya.
Bau tanah sehabis hujan sangat menyejukkan ditambah udara sejuk yang datang dari atas pegunungan Tambora, “Namamu sapa dek?” Tanya saya pada anak tersebut, “Jum nama saya aba” kata dia. Aba dalam tradisi bima disebutkan untuk orang-orang yang lebih dewasa, “datang apa aba kesini?” Tanya si Jum, lalu saya menjelaskan kepada dia, kemarin hari Sabtu ada rombongan teman saya untuk mendaki Tambora melewati jalur kawinda To`i, hari ini kami datang menjemputnya, jelas saya kepada Jum. “oh iya kemarin (Sabtu) saya lihat ada rombongan di pos air terjun,” jawab Jum.
Selang beberapa detik hujan turun kembali mengguyur pemukiman transmigrasi sangat deras, kemudian si Jum mengajak saya untuk berteduh kedalam pondoknya yang sederhana. Dengan tergesa-gesa menghindari hujan saya masuk kedalam pondok Jum, alangkah kagetnya ketika disamping pintu ada sesosok seorang anak kecil yang lagi yang berdiri sebelah pintu. Ternyata dia adalah adiknya si Jum, namanya Dian, dengan gesitnya si Dian mengambil tikar dan mempersilakan saya untuk duduk, saya lebih memilih berdiri saja karena begitu mengasyikkan menikmati hujan turun dalam kesunyian pelosok Tambora. Kakak saya Farid, dia meilih berteduh di dalam mobil.
“Orang tua kalian kemana?” Tanya saya kepada si Jum. “Ama sama kakak saya pergi mengambil anjing di transmigrasi SP3, dan Ina lagi duduk di rumah tetangga sebelah sekolah” jawab si Jum, Ama adalah panggilan untuk seorang bapak sedangkan Ina panggilan untuk Ibu dalam tradisi Bima. Agak heran saya mendengar jawaban tersebut, karena penasaran saya menanyakan lagi untuk apa anjing itu, dalam benak saya mengira untuk menjaga rumah atau lahan kebun jambu mente, karena seperti yang saya ketahui bahwa biasanya orang Bima memelihara anjing untuk menjaga kebun mereka. Agak kaget mendengar penjelasan darinya, bahwa anjing tersebut digunakan untuk ‘Nggalo’ kata si Jum.
Nggalo adalah tradisi lama Suku Mbojo (Bima) untuk berburu rusa. Nggalo sendiri artinya berburu, hewan yang biasa diburu adalah Rusa atau biasa disebut ‘Maju’ oleh orang Bima. Namun tradisi ini sudah mulai hilang, ada beberapa faktor yang menurut saya kenapa Nggalo sudah agak jarang dilakukan pertama karena pelarangan untuk berburu rusa oleh pihak yang bersangkutan dan kedua adalah masyarakat Bima yang sekarang lebih meilih bertani jagung atau bawang yang dinilai lebih banyak keuntungannya.
Jum memegang tanduk rusa istimewa dari koleksi miliknya.
“biasa bisa dapat berapa ekor jika Nggalo Maju”, Tanya saya pada si Jum. Kemudian Jum bercerita biasanya ketika Ama pergi Nggalo bisa dapat 20 hingga 30 ekor rusa dalam satu minggu, kaget mendengar ceritanya. Jum juga sering ikut berburu jika liburan sekolah katanya diatas gunung bisa satu minggu dan lebih untuk menunggu tangkapan, yang lebih membuat saya kaget dan semakin menarik mendengar cerita Jum yaitu metode perburuan yang mereka pakai adalah dengan cara lama menggunakan ‘Sarente’ yaitu sebuah perangkap. Orang Bima dahulu menggunakan Sarente yang terbuat dari tali berasal dari kulit pohon kemudian Sarente dipasang dalam hutan dan tinggal menunggu rusa yang masuk perangkap. Namun Nggalo tidak menggunakan senapan hanya menggunakan anjing untuk menggiring rusa menuju perangkap yang sudah dipasang, jelas Jum kepada saya. Mereka berdua, Dian sekarang duduk dibangku kelas 2 SD Sorilaju sedangkan Jum duduk dibangku kelas 3 pada SD yang sama.
Tanduk rusa, ujungnya berwarna kuning.
Sarente yang terbuat dari kawat.
Kemudian Jum menuju kamar untuk mengambil tanduk rusa koleksinya. Katanya tanduk koleksinya tersebut adalah tanduk terbaik dari berbagai tanduk rusa yang pernah mereka tangkap. Tanduk tersebut berwarna kuning ujungnya, tidak seperti tanduk rusa lainnya yang berwarna coklat tua. Tak terasa jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 3.00 sore, namun rombongan belum juga turun kemungkinan mereka camping lagi semalam akibat hujan, pikir kami.
Dari jauh sebelah utara terlihat sepeda motor mendekati kami, “Ama sudah datang dengan kakak saya”, pinta si Jum. ternyata benar itu adalah Ama si Jum dengan motor bebek dan depannya terletak karung yang berisi anjing. Kami berkenalan dengan Ama si Jum, namanya adalah Taufik biasa orang memanggilnya Aba Fi, kemudian beliau pamit untuk mengikat anjingnya kebelakang lalu suara anjing menggonggong begitu banyak terdengar dari belakang, ternyata ketika hujan mereka tidak kelihatan dan terdengar kami juga kaget ketika beberapa anjing datang menghampiri Aba Fi.
Kemudian Aba Fi mempersilakan kami duduk di bale-bale depan rumahnya dibawah pohon jambu mente, setelah kami menjelaskan tujuan kami singgah di rumahnya, Aba Fi lalu memperkirakan rombongan akan turun besok antara jam 3 atau 4 sore, katanya. Selang beberapa detik istri Aba Fi datang di gonceng oleh anak pertamanya bernama Awal, lalu Aba Fi menyuruh istrinya untuk membuatkan kopi, suasana begitu hangat akan keramahan keluarga Pak Taufik (Aba Fi).
Hari sudah mulai gelap di lereng Tambora terdengar gonggongan anjing peliharaan Aba Fi dibelakang rumah seakan memperingatkan sesuatu, tiba-tiba suara rintik hujan terdengar dan selang beberapa detik hujan kembali turun dengan derasnya. Lalu Aba Fi mempersilakan kami untuk masuk kedalam rumahnya, tikar dan karpet digelar oleh istrinya, kemudian tiga gelas kopi di hidangkan. “Ayo silakan diminum ini kopi buatan sendiri”, kata istrinya.
Pak Taufik atau biasa di sapa Aba Fi dan istrinya Ibu Hana.
Aroma kopi begitu menggoda di tambah di luar hujan menjadikan obrolan kami begitu asik dan lupa akan kabar rombongan, dengan di sinari oleh lampu handphone sebab di Kawinda Toi listrik belum masuk dan juga sinyal hp, katanya aka ada sinyal hp kedepannya oleh salah satu perusahaan. Namun tidak menjadi masalah dikala obrolan semakin mengasyikkan. “Dahulu jalur itu, berawal dari kami”, kata Aba Fi sambil meminum kopi dan membakar satu batang rokok miliknya. Jalur pendakian Kawinda Toi memang dikenal dengan jalur pemburu karena awal pertama kali para pemburu yang membukanya, sekitaran tahun 2008 oleh para pecinta alam Bima mencoba menapaki jalur tersebut, cerita Aba Fi.
Biasanya untuk mengambil jalur ini harus saat waktu subuh, supaya nanti jam 12 siang sampai di pos 3, dari pos 3 bisa camping dulu untuk istirahat, lalu besok subuh lagi baru menuju puncak, jelas Aba Fi. Berbagai kisah mistis kerap menghiasi gunung Tambora, pengalaman mistis seperti yang dialami Aba Fi. Ketika itu mereka (pemburu) mendengar berbagai macam suara berisik layaknya suasana perkotaan, namun itu hanya terdengar jika melewati salah satu jalur khusus yang sangat jarang orang ketahui, kisah Aba Fi sambil menghisap rokok di tangan kirinya.
Aba Fi dan istrinya menceritakan berbagai pengalaman mereka tinggal di Transmigrasi SP 4.
Sambil minum kopi dan kudapan biskuit menemani kami sambil mendengarkan cerita perburuan Aba Fi.
Jika pergi berburu rusa ratusan perangkap (Sarente) yang sudah terbuat dari kawat kabel yang dibelinya seharga dua jatu, di panggul oleh dua orang, anaknya Jum turut serta dibawanya untuk berburu. Biasanya jika pergi Nggalo lamanya bisa sampai satu minggu hingga dua minggu, kadang juga bisa mencapai satu bulan tergantung rusa yang masuk perangkap. Sarente biasanya dipasang waktu sore, tingginya diperkirakan sesuai dengan tinggi leher rusa dewasa, kisah Aba Fi.
Rusa yang didapat bisa mencapai 20 ekor kadang jika musim berburunya baik kadang mendapatkan 30 ekor, juga Nggalo tergantung kelincahan dari anjing yang peka melacak jejak rusa, biasanya anjing yang dibawa sejumlah 6 ekor kadang lebih, tergantung jumlah pemburu yang turut serta ikut. Ketika malam mereka tidur di atas Ngguwu (pondok kecil) yang sudah dibangun oleh para pemburu, tinggal di tutupi dengan terpal. Jum sangat suka ketika berada diatas sana, memasak hingga mengambil air jalurnya sudah dia hafal semuanya, kata Aba Fi sambil mengusap kepala Jum.
Sejak kecil Aba Fi sudah diajarkan berburu oleh orang tuanya dan sekarang ilmu berburu juga akan dia ajarkan kepada ketiga anak laki-lakinya yaitu Awal (pertama), Jum (kedua), Dian (ketiga) dan Wati anak perempuan satu-satunya dan yang paling bungsu. Istri Aba Fi bernama Hanah mereka berdua berasal dari desa Manggelewa Dompu, dan menetap di transmigrasi SP4, kawinda Toi, Bima. mereka datang sejak tahun 2004 setelah menikah, semua anaknya dilahirkan dipondok kecil sederhana mereka. Juga pernah istrinya melahirkan sendirian anak ketiganya (dian) ketika Aba Fi pergi ke kota, cerita Ibu Hana.
Tidak terasa malam semakin larut udara dingin lereng Tambora mulai menyelimuti kawasan SP4, dan Awal sudah datang dengan AKI untuk memasang lampu. Ketika Ibu Hana ingin memasakkan makan malam buat kami berdua, dengan sopan kami menolak karena tadi sore sudah makan di pondok Konservasi Taman Nasional Tambora, pinta kami. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 10 malam, Aba Fi menawarkan tempat tidur dalam pondoknya namun kami memilih untuk tidur dalam mobil karena takut merepotkan. Kebetulan di luar bulan sangat terang, dibawah pohon jambu mente kami memarkirkan mobil dan langsung tidur berhubung badan juga kecapean.
Gonggongan anjing membangunkan kami pada pagi buta di tambah suara Jum dan Dian yang bermain dengan ayam mereka. Di ufuk timur terlihat sang fajar sudah memerah kamipun bangun untuk menikmati suasana pagi di SP4. Dari depan halaman rumah Aba Fi sebelah selatan terlihat jelas puncak kawah Tambora tanpa ditutupi awan, sangat indah ketika matahari menyinari puncaknya.
Lalu Aba Fi keluar menghampiri kami kemudian dia menjelaskan jalur pendakian di jalur pemburu sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah gunung Tambora. Kemudian di depan rumahnya Ibu Hana memanggil kami untuk sarapan, sangat istimewa bagi kami bisa sarapan di rumah Aba Fi apalagi di bawah rimbunnya pohon jambu di atas bale-bale depan rumahnya.
Pagi hari gunung Tambora tampak cerah tanpa awan yang mengitari.
foto bersama dengan latar gunung Tambora, kakak saya (Farid), Aba Fi, Dian, Wati, Saya dan Jum.
Jum bertugas memberikan makanan pada anjing pemburu mereka pagi hari.
Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 10 dan sudah tanggal 10 (Juli/2017), rombongan Bu Fadlun belum juga nongol, agak was-was takutnya mereka kesasar. Kemudian si Jum mengajak saya ke air terjun, dari pondok Aba Fi jaraknya sekitar 800 meter berjalan kaki, saya di suguhi motor namun saya lebih memilih berjalan kaki hitung-hitung untuk olah raga. Bersama Jum, Dian, dan Wati setelah berjalan lama akhirnya kami sampai juga di tujuan, memang sangat luar biasa indahnya air terjun di tambah airnya yang sangat jernih dan bersih, kicauan burung berirama dengan desiran sungai. Inilah tempat impian untuk berlibur sahut saya dalam hati, setelah berlama di air terjun kamipun kembali ke pondok.
Jam tangan sudah menunjukkan pukul 12.00 siang rombongan Bu Fadlun belum juga tiba, lalu Aba Fi menyuruh Awal untuk pergi ke Pos 1 untuk menunggu rombongan. Saya beristirahat sambil berbaring, satu jam kemudian tiba-tiba datang Awal mengabarkan bahwa mereka sudah turun, sangat bersyukur akhirnya mereka sampai juga pada pukul 2.00 siang seperti yang diperkirakan oleh Aba Fi. Setelah semua barang dan rombongan sudah naik ke atas mobil, kamipun pamit kepada Aba Fi dan keluarganya, keramahan serta kisah perburuannya akan selalu dikenang. (Note & Photo by fahrurizki)
Jum menggendong adiknya Wati ketika turun menuju air terjun.
Air terjun pos 1 kawinda Toi dan masih ada 6 terjun lainnya di jalur ini.
Kembali menuju pondok Aba Fi dari air terjun pos 1.