Baca Juga
Catatan Perjalanan Paox Iben
Sudah lama sebenarnya saya ingin mengunjungi Dana Donggo di Bima,
disana konon hidup sebuah komunitas masyarakat yang memiliki keunikan
tradisi tersendiri di antara Dou Mbojo pada umumnya. Dou Donggo biasanya
dikaitkan dengan indigenous people dan sistem kepercayaan lama sebelum
terbentuknya kesultanan Islam Bima.
Saat ini Donggo
hanyalah nama sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Bima yang letaknya
cukup terpencil. Tetapi dalam kenyataannya, Dou Donggo telah menyebar
diperkampungan-perkampungan yang terserak sepanjang lereng pegunungan
Doro Soromandi yang berada disebelah barat teluk Bima memanjang hingga
ke wilayah Sanggar (sebuah kerajaan lama yang konon raib terkubur oleh
letusan Tambora pada tahun 1815) yang berada di kaki Tambora di utara
daerah kabupaten Dompu. Ada beberapa gunung di sepanjang deretan
pegunungan itu dengan puncak tertingginya Doro Lambuwu dengan ketinggian
1582 m dpl. Pada hari minggu 26 Juni 2011 ini, saya bersama kawan-kawan
dari Sila berkeliling ke beberapa kampung tersebut. Kami sempat
berhenti, melakukan beberapa wawancara singkat ke masyarakat dan para
tokoh setempat, serta menikmati susu kuda liar yang masih segar hasil
perahan masyarakat.
Akses ke kota kecamatan Donggo cukup
mudah. Jalanan beraspal hotmix melingkar dari daerah Sila menuju
kecamatan Donggo hingga ke wilayah Bajo di kecamatan Soromandi yang
berada di tepian sebelah barat teluk Bima. Beberapa jalan terutama yang
menghubungkan perkampungan yang terpisah oleh jurang dan perbukitan
terjal memang belum diaspal. Tetapi secara umum, kondisi jalan di Donggo
cukup bagus. Sehingga hanya butuh waktu beberapa jam untuk berkeliling
ke sebagian besar perkampungan Dou Donggo, terutama di wilayah bagian
selatan dari ujung barat hingga timur pegunungan Soromandi. Ketika saya
mencoba koneksi internet menggunakan Hp di sebuah bangunan tua di depan
kantor camat yang disebut pesanggrahan, sinyalnya juga cukup bagus.
Panorama
alam dari teras bangunan tua peninggalan Belanda yang pernah dijadikan
tempat penahanan Sultan Bima oleh pihak Belanda itu sangat indah dan
memukau. Pulau Kambing yang terkenal dan berada ditengah teluk yang
biasanya kita nikmati dari jalan raya dengan menyusuri pantai sebelah
timur teluk Bima atau tepatnya di pantai Amahami, kini terlihat seperti
sebuah delta kecil pada sungai besar saja. Sementara bangunan-bangunan
dan atap-atap rumah di kota Bima terlihat syahdu dalam pelukan
gunung-gunung yang berselimut kabut tipis dikejauhan.
Sore
ini memang sungguh istimewa, setelah seharian berkeliling ke beberapa
desa di wilayah Donggo. Apalagi ada seorang gadis cantik, Annisa
namanya, gadis manis asli Donggo yang berjilbab cokelat menyuguhkan kopi
panas di senja yang dingin dan sedikit mendung disana-sini itu. Saya
dan kawan-kawan—anak-anak muda dari Sila—Rahmat Subhan, Gufran dan Zoel
seakan enggan beranjak pulang. (hehe, jadi ingat lagunya Koes Ploes;
Diana Kekasihku, gadis manis anak pak tani!). Kami berempatpun asyik
berbincang tentang pengalaman kami bertemu dengan beberapa orang tokoh
di Donggo sampai lupa waktu.
Sejarah Sosial Dou Donggo
Kata
Donggo, menurut beberapa sumber, secara etimologi memiliki arti ”yang
diserah terimakan”. Tidak jelas benar apa makna kata ini sesungguhnya,
terutama berkaitan dengan konteks etimologisnya (sayapun teringat kota
kasa Monggo dalam bahasa jawa yang kurang lebih artinya sama;
mempersilahkan!). Tetapi beberapa sumber menyebutkan bahwa hal itu
terkait dengan penakhlukan Gajahmada pada abad ke 14 dengan merujuk pada
beberapa situs seperti Wadu Pa’a (batu pahat yang merupakan situs
pemujaan Siwa), dan sebuah prasasti yang dipercaya sebagai Tapak kaki
Gajahmada, bahkan orang Donggo meyakini makam Gajahmada juga terdapat di
daerah ini. Sementara saya masih berpegang pada asumsi yang tertuang
dalam kitab Negara Kretagama bahwa Gajahmada sendiri sesungguhnya tidak
pernah datang ke wilayah timur. Kedatangan orang-orang Majapahit ke Bima
terkait dengan sebuah ekspedisi militer yang dipimpin oleh Mpu Nala
untuk menakhlukkan Dompu Sanghyang Api pada kurun tahun 1340an-1350-an
(tentang hal ini sya telah menulis artikel khusus di www.senimana.com
tentang membaca kembali sejarah Bima pra-Islam).
Ketika
kesultanan Bima terbentuk pada tahun 1620an, wilayah Donggo yang secara
otomatis berada di bawah kekuasaan kesultanan Bima, oleh suatu sebab
wilayah ini yang di pimpin oleh seorang Ncuhi seakan kurang
terperhatikan oleh pihak kesultanan. Ada beberapa hal yang membuat
Donggo seakan “berbeda” dari Dou Mbojo (sebutan untuk orang Bima) pada
umumnya. Hal yang paling menyolok adalah sebagian besar masyarakat
Donggo menganut agama Katholik atau masih terikat dengan kepercayaan
lama yang disebut Marafu. Hal itu tentu saja menjadi pembeda yang
signifikan, sebab masyarakat Bima pada umumnya yang memiliki akar
kesejarahan cukup panjang sebagai sebuah kesultanan Islam mengklaim
bahwa Agama Islam adalah agama resmi “Negara”. Maklumat tersebut
dikumandangkan oleh Sultan Salahudin sebagai sultan pertama Bima yang
mewajibkan penduduknya untuk memeluk agama Islam. Lalu mengapa
kepercayaan lama dan agama Katholik masih berkembang luas di masyarakat
Donggo?
Tofografi alam yang cukup ekstrim rupanya menjadi
factor utama mengapa wilayah Donggo seakan luput dari jangkauan
pengawasan kesultanan Bima. Karakter Dana Mbojo (Tanah Bima) dan pulau
Sumbawa pada umumnya memang memiliki tipologi terdiri pegunungan berbatu
dan kering. Namun terdapat pula beberapa wilayah, terutama lembah atau
ngarai di pegunungan-pegunungan tersebut—biasanya menjadi alur sungai
yang mengaliran air dari mata air dipeguungan-pegunungan-- yang
merupakan daerah subur. Di lembah atau perbukitan kecil disekitar
lembah tersebut biasanya Dou mbojo mendirikan perkampungan dan
membuat sawah atau berladang. Sebagian yang lain, terutama masyarakat
pendatang dari suku Bugis, Bajo atau dari Makassar mendirikan
perkampungan di teluk Bima atau di pantai-pantai dan teluk yang
ber-ombak datar serta terlindung seperti di daerah Sape dan sekitarya.
Sementara
itu, biasanya Dou Donggo justru membangun perkampungannya di perengan
bukit mendekati mata air. Perkampungan Mbawa misalnya, yang merupakan
perkampungan tertua--dan dianggap sebagai kampung utama atau kampung
induk sebagai asal-usul Dou Donggo-- tempat Nuchi bertahta, berada
disebuah perengan yang diapit dua jurang yang sangat dalam. Hal tersebut
tentu menyulitkan siapapun untuk menjangkau wilayah itu dengan kekuatan
fisik maupun senjata. Letaknya yang cukup jauh dari pusat
kekuasaan--dan menyulitkan—dianggap kurang menguntungkan secara ekonomis
bagi pihak kesultanan. Karena itu pulalah di era kesultanan, daerah
Donggo yang sebagian besar berhutan lebat serta bagian lainnya kering
kerontang juga dijadikan tempat pembuangan tawanan perang atau
budak-budak pada era kolonialisme Belanda terutama dari daerah Manggarai
dan flores yang merupakan daerah takhlukan kesultanan Bima.
Dalam
konteks sosio-grafi masyarakat Bima, boleh dibilang jika Dou Donggo
adalah masyarakat gunung yang sebenarnya. Mereka mewarisi sifat
masyarakat berburu dan meramu. Jikapun mereka mengenal sistem pertanian,
umumnya mereka adalah masyarakat perambah yang bercocok tanam secara
berpindah-pindah. Oleh satu sebab, biasanya karena gangguan dari
binatang buas atau kejahatan, mereka kemudian membuat perkampungan tak
jauh dari ladang-ladang yang berada di lingkar bukit tempat mereka
bercocok tanam. Dari situlah penyebaran Dou Donggo ke wilayah lain (jauh
di luar perkampungan induk) terjadi, seperti di Kampung Tolo Nggeru
atau di Palama yang letaknya lebih di bawah atau di selatan dan berada
diperbatasan dengan Kabupaten Dompu. Pola hidup Dou Donggo tersebut
dalam kontek sosio-antropologis akan terlihat jelas dalam sistem
kepercayaan dan tata sosial mereka.
Agama Kristen di Donggo
Keberadaan
budak atau orang-orang flores inilah yang diyakini membawa pengaruh
Kristen ke masyarakat Donggo yang masih menganut kepercayaan Marafu
terutama pasca meletusnya Tambora atau diera sultan Jamaludin III.
Kedatangan para misionaris Katholik terutama setelah kesultanan Bima
ditakhlukkan oleh Belanda juga semakin menguatkan ke kristenan di
wilayah ini. Romo Paulus yang menjadi pastur quasi Paroki (persiapan
paroki) untuk wilayah Donggo mengatakan, bahwa sebelumnya agama kristen
Protestan lebih dulu masuk ke wilayah Donggo dibanding agama Katolik.
Tetapi karena misi itu terhenti dan umat tidak terpelihara maka pada
tahun 1930-an, Frather Kiwus, seorang misionaris dari Jerman
melanjutkan misi tersebut dan berhasil membangun beberapa gereja dan
sekolah di wilayah Donggo. Namun pada tahun 1968 hingga 1972 terjadi
huru-hara dan pembakaran beberapa gereja serta sekolah yang dilakukan
oleh masyarakat dari wilayah Sila yang dipimpin oleh H. Jamaludin.
Huru-hara itu memang konon dimaksudkan untuk mengislamkan orang-orang
Donggo dan membendung kristenisasi. Beberapa masyarakat yang menganut
agama selain Islam (kepercayaan Marafu dan Kristen/Katholik) dipaksa
memeluk agama Islam. Beberapa benda peninggalan adat dirampas dan
dimusnahkan, serta sebagian lagi sempat diselamatkan dan disimpan di
museum ASI Bima.
Pemaksaan tersebut rupanya kurang
berhasil, sebab masyarakat Donggo, sebenarnya lebih condong ke
kepercayaan lama atau Marafu meskipun mereka menganut agama Kristen
maupun Islam. Banyak masyarakat yang akhirnya pindah agama karena
terpaksa dan kembali ke agama mereka manakala situasinya sudah mereda.
Tidak heran jika masyarakat Donggo tetap menggunakan nama Islam di
belakang nama Baptis mereka. Beberapa bahkan tidak menggunakan nama
Baptis sama sekali seperti Muhammad Ali (90 tahun) atau Sulaiman Ismail
(11 tahun). Kamipun tak bisa menyembunyikan kekagetan dan tertawa tipis
saat diperkenalkan dengan pak Muhammad Ali. Mungkin ia satu-satunya
orang Katholik di dunia yang tetap memakai nama Muhammad, meskipun nama
tersebut juga mengingatkan kepada petinju Negro-Amirika yang sangat
legendaris itu, tetapi Muhammad Ali Donggo lebih tua usianya dari
Muhammad Ali yang justru menjadi Mu’allaf.
Hubungan antar
agama, terutama Islam dan Kristen di masyarakat Donggo sendiri
sebenarnya tidak terlalu ada masalah. Seperti yang diungkapkan oleh
Jamaludin, cucu dari Ncuhi Honte yang merupakan Ncuhi Mbawa terakhir
–dan diberi gelar Ncuhi Sangaji Lua Lembo oleh Sultan,-- masyarakat
Donggo memiliki kesadaran bahwa mereka adalah satu keluarga besar.
”Banyak dari kami yang satu keluarga berbeda agama, misalnya orang
tuanya Katholik tetapi anaknya Islam atau sebaliknya, tetapi bisa hidup
rukun dalam satu atap,” ungkap lelaki 40 tahun 40 tahun yang memiliki
nama baptis Stefanus ini.
Kalaupun ada masalah cukup
serius, biasanya terkait dengan pernikahan beda agama. ”Biasanya kami
orang kristen atau Katholik yang mengalah.maklum minoritas. Soalnya
pernah terjadi beberapa kasus penganiayaan yang melibatkan orang luar
ketika orang islam berpindah ke agama kami,” kata Yustina Sa’ida.
”Ada
seorang gadis yang pindah agama, dia dianiaya oleh orang suruhan
keluarganya hingga mengalami luka berat. Wah saya tidak habis pikir dan
takut membayangkannya mas. Padahal agama itu kan mengajarkan kasih
sayang dan tidak boleh ada paksaan dalam berkeyakinan. Meskipun kita
berbeda agama, saya sendiri percaya kita menyembah tuhan yang satu,
hanya jalan dan caranya yang berbeda,” tambahnya dengan mata sedikit
berkaca-kaca.
Ada juga alasan mengapa ketika terjadi
perkawinan antar agama ini, orang kristen cenderung masuk Islam. ”Masuk
kristen itu tidak mudah mas. Untuk pernikahan saja ada semacam bimbingan
selama 3 bulan. Belum lagi bimbingan dari seorang Katekis (guru agama)
selama beberapa tahun jika mau masuk katholik, itupun belum tentu di
Babtis,” kata salah seorang mu’allaf yang tidak mau disebutkan namanya.
Sistem Kepercayaan dan Tradisi Dou Donggo
Masyarakat
Donggo juga memiliki hari besar tersendiri yang disebut sebagai Hari
Raju. Pada hari tersebut dilakukan berbagi rangkaian acara perayaan.
Dimulai dari musyawarah besar para ketua klan atau yang di sebut Ndo’i
untuk menentukan hari Raju. Perayaan Hari Raju biasanya dilakukan pada
bulan Oktober atau sebelum masa tanam selama 7 hari. Ada 12 Klan atau
Ndo’i dalam masyarakat Donggo. Diantaranya adalah Ndo’i Tuta Rasa, Lanco
ini, Ntifa Siwe dan Mone, Paha Woha, Soro Jara, Puta Nawa, Paninta,
Roho, Karia Dewa, Lua Lembo dan Keto Rasa. Biasanya para anggota Klan
ini akan datang pada hari Raju untuk menghormati nenek moyang dan
melakukan persembahan meskipun mereka telah hidup ber-anak pinak diluar
daerah Bima. Setiap Klan dipimpin oleh seseorang yang dipercaya memiliki
Rafu atau Shakti tertentu. Rafu winte, misalnya dipercaya mampu
menyembuhkan penyakit. Sedangkan rafu Ngguli kebal terhadap berbagai
senjata tajam.
Pada hari pertama perayaan biasanya
dilakukan upacara persembahan ke tempat-tempat yang disucikan oleh
masing-masing klan menurut Tottem-nya. Setiap Ndo’i memiliki tempat yang
dianggap suci atau keramat. Jumlahnya ada 12 sesuai dengan jumlah Ndo’i
dan berada di sekitar desa Mbawa. Klan Ndo’i Soro Jara misalnya, harus
melakukan persembahan dengan memotong seekor kuda. Sebagaian dari
persembahan tersebut diletakkan di tempat keramat tersebut dan sebagian
lagi dibagikan kepada warga. Jika hal tersebut dilanggar atau tidak
dilakukan, maka salah satu anggota keluarga akan terkena tulah atau
kutukan seperti penyakit dan kesialan lainnya.
Dari
keseluruhan perayaan, biasanya acara yang paling dinanti-nati adalah
acara perburuan yang dilakukan pada hari-hari ganjil dalam enam hari
perayaan Raju. Mereka akan berburu hewan-hewan liar seperti ayam hutan,
rusa, babi dll di hutan yang cukup lebat di sekitar perkampungan.
”Pada
hari Raju, kami seluruh masyarakat Kristen maupun muslim mengadakan
acara perburuan bersama. Sementara anggota masyarakat yang tidak berburu
tidak diperkenankan meningalkan desa selama tujuh hari tujuh malam.
Mereka melakukan bersih desa dan melakukan ritual pembasmian hama,” kata
Fransiskus Mukhtar (25 Tahun).
”Ada ketentuan-ketentuan khusus
dalam berburu tersebut. Biasanya hasil tangkapan yang kami dapat juga
menentukan keberhasilan dalam bercocok tanam nantinya. Misalnya kalau
yang banyak kami tangkap itu binatang betina, biasanya akan banyak
hujan. Tetapi kalau jantan itu alamat susah air,” kata Lukas Idris (50
Tahun). Pada hari terakhir atau ketujuh, diadakan upacara buang sial.
Beberapa masyarakat akan pergi menuju Seralano di desa Tambe dan
melemparkan sebutir batu kerikil ke sebuah tempat khusus.
Begitulah
adat dan kebiasaan masyarakat Donggo. Bagi para penganut agama yang
cenderung puritan (baik Islam, Kristen maupun Katholik), apa yang mereka
lakukan mungkin bisa dianggap bid’ah atau syirik. Tetapi bagi
masyarakat Donggo sendiri, itulah tradisi warisan nenek moyang yang
harus dilestarikan. Sebab tradisi tersebut tentu tidak lahir begitu
saja. Tradisi tersebut merupakan bagian dari proses panjang
pembelajaran, bagaimana nenek moyang dou Donggo berinteraksi dengan alam
dan sesamanya selama ratusan atau mungkin ribuan tahun. Melalui hasil
pembelajaran tersebut masyarakat donggo menemukan kearifan-kearifan
tersendiri, bagaimana mereka mengelola dan memanfaatkan alam dengan
ramah dan bersahabat. Saat ini wilayah Donggo merupakan wilayah yang
subur dan makmur. Hasil pertanian mereka melimpah dan anak-anak mudanya
banyak bersekolah hinga ke luar daerah.
Salam dari DANA MBOJO, BIMA...