Baca Juga
mengenakan mantel ungu dengan sebuah payung tergenggam di jemarinya yang lentik. Senyumnya begitu murni dengan deretan gigi putih seperti deretan tut piano tanpa warna hitam di sela-selanya,,,
Perkenalkan, namaku Narelle, Si Pembawa Payung
Suaranya cukup merdu meliuk, hingga daun-daun berjatuhan
bunga-bunga berguguran sebelum waktunya, ranting patah sebelum mengering
Hujanpun turun dengan lebatnya, meruntuki kepala, juga genting dan
atap rumah. Pohon-pohon dan papan iklan tumbang
menimpa siapapun yang hendak tengadah di bawahnya
Perkenalkan, namaku Narelle, Si Pembawa Payung
Suaranya cukup merdu meliuk, hingga daun-daun berjatuhan
bunga-bunga berguguran sebelum waktunya, ranting patah sebelum mengering
Hujanpun turun dengan lebatnya, meruntuki kepala, juga genting dan
atap rumah. Pohon-pohon dan papan iklan tumbang
menimpa siapapun yang hendak tengadah di bawahnya
Kapal-kapal hilang haluan dan kandas, Perahu-perahu berserakan,
juga rumah-rumah di gigir pantai yang tersusun dari pilar
kesetiaan hari-hari. Bukit-bukit longsor menelan
perkampungan. Air bah menyapu harapan. Tubuh-tubuh, sebagian
kaku dan sisanya menggigil putus asa
Lalu entah bagaimana caranya, ia masuk ke ruang tamu
Membawakanku sebuah selimut, berbicara panjang lebar
tentang musim-musim yang tertidur
dalam ingatan. Memaksaku membuka kembali ayat-ayat terlupakan
tentang kegaduhan di menara Babel, Kuruksetra, Bukit Zion, Gunung Sinai, Golgota, padang Uhud, Karbala, Sekigahara, Getto-getto sepanjang Warsawa hingga Auswhict, Hiroshima, Nagasaki, Chernobyl, Aceh…Batu hijau!
(Upss..hampir aku terpedaya... mata itu,,,d
dikesempatan lain ia akan memperkenalkan diri
sebagai Arlene, Nate, Sandy, Katrina, Whilma, Zelda,,,)
Untuk apa? Tanyaku…
Hukuman? Penebusan?
Pusaran asmara dari birahi musim? Gila…
Daur hidup?
Kenapa tak sekalian kau letakkan
tangan Tuhan dimuka kami?
Tak cukupkah hidup di negeri melimpah kekayaan
tapi berkubang kemiskinan sebagai hukuman?
Hidup di negara yang katanya merdeka, berdaulat, tapi terlunta
di kampung sendiri hingga harus mengadu nasib dan menjadi jongos
di negara tetangga?
Bersabar? Tak cukupkah setiap hari makan janji yang tak ditepati?
Bersedekah? Tak cukupkah setiap hari makan kerak hutang
sementara para pejabat dan para kroni menimbun kekayaan
untuk kejayaan diri sendiri?
Berderma? Adakah negeri-negeri kaya yang tak makan keringat darah
berjuta buruh negeri ini? Tak menggasak hutan, serta menghisap
tulang-belulang sejarah yang terkubur ribuaan abad
sebagai mineral dan tambang dari tanah kami?
Moralitas? Kami Pancasilais
Beriman? Masjid-masjid kami megah Nona…
Perempuan itupun tersenyum
dan menghilang entah kemana
Mungkin sedang mengetuk pintu hatimu
Menggodamu
dengan pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya
juga rumah-rumah di gigir pantai yang tersusun dari pilar
kesetiaan hari-hari. Bukit-bukit longsor menelan
perkampungan. Air bah menyapu harapan. Tubuh-tubuh, sebagian
kaku dan sisanya menggigil putus asa
Lalu entah bagaimana caranya, ia masuk ke ruang tamu
Membawakanku sebuah selimut, berbicara panjang lebar
tentang musim-musim yang tertidur
dalam ingatan. Memaksaku membuka kembali ayat-ayat terlupakan
tentang kegaduhan di menara Babel, Kuruksetra, Bukit Zion, Gunung Sinai, Golgota, padang Uhud, Karbala, Sekigahara, Getto-getto sepanjang Warsawa hingga Auswhict, Hiroshima, Nagasaki, Chernobyl, Aceh…Batu hijau!
(Upss..hampir aku terpedaya... mata itu,,,d
dikesempatan lain ia akan memperkenalkan diri
sebagai Arlene, Nate, Sandy, Katrina, Whilma, Zelda,,,)
Untuk apa? Tanyaku…
Hukuman? Penebusan?
Pusaran asmara dari birahi musim? Gila…
Daur hidup?
Kenapa tak sekalian kau letakkan
tangan Tuhan dimuka kami?
Tak cukupkah hidup di negeri melimpah kekayaan
tapi berkubang kemiskinan sebagai hukuman?
Hidup di negara yang katanya merdeka, berdaulat, tapi terlunta
di kampung sendiri hingga harus mengadu nasib dan menjadi jongos
di negara tetangga?
Bersabar? Tak cukupkah setiap hari makan janji yang tak ditepati?
Bersedekah? Tak cukupkah setiap hari makan kerak hutang
sementara para pejabat dan para kroni menimbun kekayaan
untuk kejayaan diri sendiri?
Berderma? Adakah negeri-negeri kaya yang tak makan keringat darah
berjuta buruh negeri ini? Tak menggasak hutan, serta menghisap
tulang-belulang sejarah yang terkubur ribuaan abad
sebagai mineral dan tambang dari tanah kami?
Moralitas? Kami Pancasilais
Beriman? Masjid-masjid kami megah Nona…
Perempuan itupun tersenyum
dan menghilang entah kemana
Mungkin sedang mengetuk pintu hatimu
Menggodamu
dengan pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya
Paox Iben, Mataram, 12 Jan 2012