Baca Juga
SUASANA PENOBATAN Ferry Zulkarnain sebagai SULTAN BIMA KE 16, Kamis 4 Juli 201.
Foto-foto dan catatan oleh : Paox Iben
Follow @JelajahSumbawa
Tuha Ro Lanti adalah cara unik
penobatan dan pengangkatan Raja dan Sultan Bima yang dilaksanakan secara
turun temurun selama berabad-abad lamanya. Sultan terakhir yang Dituha
Ro Lanti adalah Muhammad Salahuddin pada tahun 1915. Dan kini setelah 98
tahun berlalu, masyarakat kembali menyaksikan prosesi budayanya yang
sempat hilang itu. Gawe adat ini dihadiri oleh Raja dan Sultan se
nusantara, para pejabat Negara dan masyarakat Bima dari berbagai
pelosok.
Prosesi diawali bunyi lonceng di Lare-Lare (Gerbang Istana) sebanyak 7
kali kemudian diiringi alunan Gendang dan Silu (sejenis music tiup
khas Bima) member isyarat kedatangan pasukan Dari Suba yang mengawal
calon Sultan dari kediamannya bersama keluarga dan atribut kerajaan.
Pasukan Dari Suba mengelilingi areal Dana Ma Babuju (sebuah replica
bukit kecil yang berada di halaman Asi Mbojo tempat upacara Tuha
(pengangkatan oleh para Ncuhi dilakukan). Sementara Jena Teke dan
keluarga berdiri di bawah Lare-lare Istana. Lantunan Ayat Suci Alquran
dan Doa mengawali prosesi sacral ini, disusul sambutan ketua Maejlis
Adat Dana Mbojo Dr.Hj. Siti Maryam Salahuddin dan Wakil Gubernur NTB
Bardrul Munir.
Pada kesempatan itu, Ina Kau Mari mengemukakan rasa bangganya atas
pelaksanaan prsoesi Tuha Ro Lanti itu. “ tujuan dari penobatan ini
adalah sebagai upaya pelestarian nilai-nilai budaya bangsa dan untuk
memperkenalkan budaya mbojo yang luhur dan agung kepada generasi. “.
Ungkap Doktor Filologi dari Universitas Pajajaran ini. Sementara itu,
Wagub NTB Badrul Munir mengemukakan, penobatan Sultan Bima ke-16 adalah
sejarah bagi Dou Labo Dana Mbojo. “ Sejarah hanya mencatat hal-hal yang
penting dan peristiwa penting. Untuk itu, peristiwa ini hendaknya
dijadikan momentum bagi Dou Mbojo untuk menata kehidupan kedepan yang
lebih maju lagi. Jadikanlah penobatan ini untuk terus memupuk
persaudaraan, persatuan dan kesatuan diantara Dou Labo Dana Mbojo. “
Imbuh Badrul Munir.
Prosesi Tuha diawali musyawarah para Ncuhi yang dipimpin Ncuhi Dara
dan satu persatu Ncuhi mengemukakan pandangannya yaitu Ncuhi Parewa,
Ncuhi Banggapupa, Ncuhi Dorowuni dan Ncuhi Bolo. Kesepakatan itu
kemudian disampaikan kepada Jena Teke Ferry Zulkarnain sebagai calon
Sultan Bima. Para Ncuhi menjemput Jenateke dan mereka naik ke Dana Ma
Babuju. Di sana disampaikannlah kesepakatan para Ncuhi untuk mengangkat
Sultan Bima. Lalu calon Sultan mengungkapkan kalimat” Renta Ba Rera,
Kapoda Ba ade, Karawi ba weki, Tohompara Ndai Sura Dou Labo Dana “
(Diikrarkan oleh lidah, dikuatkan oleh hati, dan dilaksanakan oleh
tubuh, biarlah untuk saya yang penting untuk rakyat dan negeri). Untaian
kalimat sebagai tekad sultan itu disambut pekikkan Allahu Akbar dan
tepuk tangan masyarakat yang hadir.
Usai Tuha, Dilakukan prosesi Lanti. Calon sultan itu ditandu dengan
menggunakan Pabule (kursi usungan) menuju pelataran Istana Bima untuk
dilantik oleh Majelis Adat Dana Mbojo. Lanti itu diiringi salawat Nabi
Muhammad SAW pada saat pemasangan Mahkota Kerajaan dan Keris Pusaka
Samparaja. Pada saat pemasangan itu banyak undangan yang menitikan air
mata keharuan dengan pekikkan Allahu Akbar yang menggema di pelataran
Asi Mbojo.
Usai penobatan Sultan Bima ke-16 mendapat ucapan selamat dari para
Sultan Nusantara yang hadir seperti Sultan Palembang dan Permaisuri,
Sultan Lampung, Sultan Gowa, Sultan Bone, Sultan Makassar, Sultan Demak,
perwakilan kesultanan Kelantan, Perwakilan Sultan Johor, Perwakilan
Sultan Perak, Utusan Sultan Solo dan Cirebon, Raja Pejanggik dan utusan
lainnya. (KM. Sarangge)
Berikut foto-foto Suasana Penobatan Sultan Bima.
Bima Tanpa Kuda?? Yang Bener??!
Sejak dahulu kala daerah Bima atau Mbojo dikenal sebagai penghasil kuda-kuda terbaik di Nusantara. Kerajaan-kerajaan besar di Jawa seperti Singosari, Majapahit Hingga Demak Bintoropun mengekspor kuda-kuda perang terbaik dari daerah ini. Sejak abad ke XII, para panglima perang di Seluruh Nusantara, duduk gagah di atas sanggurdi kuda Bima.
Bagi masyarakat Bima, kuda memang seakan menjadi bagian dari hidupnya. Kuda bukan sekedar Katuranggan—Tunggangan, Simbol kemewahan-- sebagaimana dalam pengertian falsafah Jawa. Bagi masyarakat Bima, Kuda adalah semacam Taksu, pembawa keberkahan. Memelihara kuda yang baik, dengan cara yang baik pula dipercaya mendatangkan kebaikan dalam hidup.
Masyarakat Bimapun sangat menggemari pacuan kuda tradisional. Setiap Sabtu dan minggu biasanya diadakan pacuan kuda di Lapangan Balap Panda-Bima. Dengan hanya mengenakan kaus kaki dan penutup kepala seadanya, joki-joki kecil akan setia menunggu antrean untuk menaiki kuda-kuda pacu. Ini juga semacam cara, untuk menguji keberanian dan ketangkasan. Sebuah pendidikan karakter yang sarat makna. Sebab sebelum mereka turun ke arena balap, mereka akan mengakrabi kuda-kuda hingga seperti sahabat sendiri. Memberi makan kuda-kuda, mengusapnya, memandikannya di laut, bermain-main, dan akhirnya terjadi saling pengertian dengan kuda-kuda hingga mereka siap ditunggangi, dipacu dalam sebuah arena berdebu.
Sayangnya, dalam acara pelantikan Sultan Bima beberapa waktu yang lalu, tidak ditampilkan kavaleri berkuda...Duh, Bima tanpa Kuda, apa jadinya?
Sejak dahulu kala daerah Bima atau Mbojo dikenal sebagai penghasil kuda-kuda terbaik di Nusantara. Kerajaan-kerajaan besar di Jawa seperti Singosari, Majapahit Hingga Demak Bintoropun mengekspor kuda-kuda perang terbaik dari daerah ini. Sejak abad ke XII, para panglima perang di Seluruh Nusantara, duduk gagah di atas sanggurdi kuda Bima.
Bagi masyarakat Bima, kuda memang seakan menjadi bagian dari hidupnya. Kuda bukan sekedar Katuranggan—Tunggangan, Simbol kemewahan-- sebagaimana dalam pengertian falsafah Jawa. Bagi masyarakat Bima, Kuda adalah semacam Taksu, pembawa keberkahan. Memelihara kuda yang baik, dengan cara yang baik pula dipercaya mendatangkan kebaikan dalam hidup.
Masyarakat Bimapun sangat menggemari pacuan kuda tradisional. Setiap Sabtu dan minggu biasanya diadakan pacuan kuda di Lapangan Balap Panda-Bima. Dengan hanya mengenakan kaus kaki dan penutup kepala seadanya, joki-joki kecil akan setia menunggu antrean untuk menaiki kuda-kuda pacu. Ini juga semacam cara, untuk menguji keberanian dan ketangkasan. Sebuah pendidikan karakter yang sarat makna. Sebab sebelum mereka turun ke arena balap, mereka akan mengakrabi kuda-kuda hingga seperti sahabat sendiri. Memberi makan kuda-kuda, mengusapnya, memandikannya di laut, bermain-main, dan akhirnya terjadi saling pengertian dengan kuda-kuda hingga mereka siap ditunggangi, dipacu dalam sebuah arena berdebu.
Sayangnya, dalam acara pelantikan Sultan Bima beberapa waktu yang lalu, tidak ditampilkan kavaleri berkuda...Duh, Bima tanpa Kuda, apa jadinya?
Foto-foto dan catatan oleh : Paox Iben
Follow @JelajahSumbawa